Kembali ke Pesantrenisasi
Selalu dan wajar. Seumpama kita menapakkan kaki dari kedinian dengan penuh tatih dan lelah. Dari kecil banyak menemui kesalahan, kekurangan sampai kegagalan. Pesantrenisasi, suatu kata menarik untuk diperbincangkan. Awal kali cikal bakal, pesantren adalah satu populasi tak menentu. Dengan reproduksi permulaan yang sederhana, namun berkualitas dengan penyesuaian sistematika. Masyarakat memang butuh suplemen-suplemen keagamaan, dan sampai sekarang pun masyarakat butuh suplemen tersebut.
Pesantren bersama eksistensi tak wajar. Bagaimana perkembangan pesatnya di era mutakhir. Sesuatu yang tak lazim dan wajar menurut kaca mata awwam. Dengan berbagai macam sistematika dan multi metodelogi, pesantren berkembang dan maju dengan cepat mengikis sekulerisme, westrenisme dan segala doktrin kebarat-baratan. Lihatlah sampai sekarang! Pesantren terbentang dimana-mana (di seantero Indonesia ). Dan justru mampu menyesuaikan di era globalisme mutakhir. Tentunya dengan keaneka ragaman kultur masing-masing.
Saat zaman kolonialisme sebelum globalisasi besar-besaran, pesantren juga berperan penting terhadap kemerdekaan RI. Banyak perlawanan baik berupa fisik dan non-fisik dilakukan kubu pesantren, melawan penjajah kafir, laknatullah alaihi. Sebagai salah satu gerakan anti-kolonialisme, maka pesantren juga punya organisasi mini sebagai literatur baground kepesantrenan. Dari sinilah muncul yang namanya NU, Muhammadiyah, Persis dan lain sebagainya. Organisasi-organisasi ini terus berkembang demikian pesat, kemudian bertramsformasi menjadi organisasi masyarakat elit di sekitarnya.
Antara abad 19 dengan 20, kolonialisme berakhir dan globalisasi merajai dunia. Apa yang terjadi dengan ormas-ormas ini? Dalam sepak terjangnya. Pesantren tetap bisa menyesuaikan dengan berkembangan zaman. Namun ini menjadi pertanyaan bagi banyak orang, mengapa pesantren terkesan mengikuti perkembangan zaman? Padahal zaman sekarang serba edan. Pertanyaan ini memang tepat bagi kalangan awwam. Pesantren berprinsip melayani masyarakat dengan tidak keluar pada konteks syariat islam. Dan pesantren juga punya pernyataan, bahwa bukan manusia yang mengikuti zaman, tetapi zaman yang mengikuti manusia.
Pesantren memang sudah saatnya berdinamika. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren dengan masing-masing kultur, berbagai macam dinamika menjadi dambaan masyarakat di bidang pengembangan keagamaan. Masyarakat juga sadar, tanpa adanya bimbingan-bimbingan relijius, mereka (dirinya sendiri) dengan generasi penerusnya (anak-anak mereka) tidak akan mampu menjalani kelangsungan hidup yang penuh modernitas. Karena melihat tingkat pergaulan yang begitu parah dan tak wajar.
Pesantrenisasi tak sewajarnya ini, patut kita pertimbangkan. Dari awal mula kesederhanaan, nilai ukhuwah islamiyah, perjuangan tak kenal lelah, kemandirian serta kebebasan yang diseimbangi dan dibatasi, kita bisa berkaca bandingkan bahwa ketidak wajaran pesantrenisasi dapat mengikis ketidak wajaran pergaulan bebas di era modernitas ini. Wa allahu alamu bi showab…
0 komentar:
Posting Komentar