Parade Shof di
Masjid Jami
Para pembaca
mungkin akan terheran, mendengar parade shof. Apalagi, jika diselingi dengan
kalimat, “di Masjid Jami’”, semakin heran dan heboh, santri se-komplek. Tapi,
ini bukan parade ala gerak jalan itu. Hanya saja, berdiam diri sesuai dengan
shofnya masing-masing. Penulis masih ingat betul, tata letak shofnya. Kelas
tiga regular pasti berada disayap kiri masjid, menyusul kemudian shof satu
regular. Dan terus ke kanan, ada shof satu intensif, dan shof tiga intensif.
Terus lagi, ada shof dua regular. Sampai ke sayap kanan, ada shof empat
regular. Penulis sampai hafal betul, dengung bising yang mereka timbulkan.
Seperti suasana sarang lebah yang ranum dengan ratu madunya.
Fenomena yang
sudah biasa dijumpai di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Jika, anda bertandang ke masjid jami’
Al-Amien Prenduan, pemandangan ini pasti akan anda jumpai. Anda tinggal melihat
warna bitokoh-nya satu persatu. Anda pasti akan berkesimpulan, bahwa
santri Al-Amien punya nilai fanatik yang amat kental, terutama pada shofnya.
Lihat saja, dimana-mana santri Al-Amien selalu mengedepankan nilai fanatisme
shof, dibanding fanatik konsulatnya. Alasannya, macam-macam. Ada yang malu,
kalau harus bergaul dengan shof bawahannya (adik kelas) di depan temannya satu
shof.
Oleh karenanya,
mereka banyak menjauh dari adik kelasnya. Kenapa kemudian menjauh? Calon
pengurus (Muallim), katanya. Ada yang bilang lagi,”Takut diremehkan…”. Dan
banyak lagi alasan lainnya.
Sebenarnya,
bukan masalah parade shofnya (fanatisme shof). Tetapi, bagaimana keadaannya
nanti, kalau seandainya shof-shof di Al-Amien, bukan malah mencetak
generasi yang brilian, baik dalam hal tulis-menulis (jurnalistik), retorika, lughah,
dan sektor lainnya. Yang dihasilkan justru generasi yang besar-besaran wibawa,
dan mungkin gengster-gengsteran. Wah, jadi apa di luar nanti? Kalau seandainya seperti itu. Ngeri deh!
Tak semuanya
memang, yang suka terhadap parade shof (fanatisme shof). Tetapi saya khawatir,
kalau seandainya yang sedikit itu, menjadi bukit. Kalau seandainya ulat-ulat
dalam shof ini, menjadi ular yang menjelma kupu-kupu, kemudian berkembang
biak.
Wibawa sudah
demikian mengakar di paradigma para santri. Kalau masih kelas satu, kelas dua,
mungkin mereka hanya tahu sedikit-sedikit, atau malah tidak tahu sama
sekali akan hal ini. Tetapi bagaimana jika sudah naik ke jenjang yang lebih
atas? Ke kelas tiga, kelas empat, kelas lima dan mereka terus
menggembor-gemborkan nilai fanatik dan ke-wibawa-an. Yah, pikir sajalah sendiri.
Nilai fanatik
dan ke-wibawa-an memang bagus, jangan mengherankan kalau nilai ke-wibawaan-an,
membuat seseorang menjadi kharismatik dan disegani. Jangan mengherankan, kalau
seandainya seseorang dapat berkembang, karena nilai fanatik. Tetapi satu, jika
kesemuanya tidak keluar dari jalur positif. Nah, inilah yang penulis sangsikan
selama ini. Paradigma santri sekarang, lebih menggembor-gemborkan nilai fanatik
dan ke-
wibawa-an, terlalu berlebihan.
Sehingga terkesan over dan egoistis.
Benarnya, penulis
ingin tertawa. Menilik santri yang kopiahnya di rapatkan dengan alis, biar
terlihat berwibawa katanya. Melihat santri yang bulu matanya, dirias dengan
warna hitam,
agar terkesan angker katanya.
Atau santri yang sudah berstatus muallim, tetapi masih memakai kopiah hitam.
Ya, kalau kopiahnya basah atau hilang, maklumlah. Ingatlah ikhwan! Kita
sekarang bukan berada di zaman jahiliyah. Jangan bertingkah yang bukan-bukan.
Bagi santri yang berfanatik, silahkan anda
berfanatik. Berfanatiklah dengan banyak berprestasi. Prestasi itu bukan hanya
menjadi juara. Anda tak berbicara saat
orang berbicara, itu sudah merupakan prestasi. Anda mematuhi peraturan yang ada
di pondok ini, itu juga merupakan prestasi yang anda bukukan. Sudahlah… wahai
orang-orang berfanatik, anda hanya perlu memikirkan bagaimana anda bisa sukses
kelak, saat anda keluar dari almamater tercinta ini, atau apa yang akan anda
bawa nanti, setelah lulus dari almater ini. Tidak usah memikirkan yang
muluk-muluk dulu.
Sekedar saran
dari penulis, silahkan jaga prajurit-prajurit shof anda. Akan menyesal
nantinya, jika anda terus-menerus berfanatik, tanpa memikirkan khalayak ramai.
Sudahlah… buang rasa egoistis anda, yang cenderung konservatif mengambil
tindakan.
Dan untuk para
penggembor-gembor wibawa, anda harus tahu. Bahwa sebenarnya wibawa itu, bukan hanya dinilai dari bentuk
kopiah kita, bagaimana kopiah kita, hitam atau tidaknya kopiah kita. Yah, semua
itu sebenarnya rasa ketakutan serta kekhawatiran anda, akan penilaian orang
lain terhadap diri anda. Anda takut wibawa anda jatuh, bila tak berpenampilan
seperti itu. Anda perlu membuat catatan tentang ini, bahwa ke-wibawa-an itu
yang menilai orang lain, bukan diri kita sendiri. Kita hanya perlu menjalankan
apa yang semestinya dikerjakan.
0 komentar:
Posting Komentar