Budaya Koruptif dalam Diri Remaja
Kalau ditanya soal negeri terkorup di
seluruh dunia, maka negeri ini adalah juaranya. Sudah tak perlu panjang dan
lebar dibahas kesana-kemari, mengapa negeri yang kaya ini justru menjadi negara
terkorup di dunia, terlalu panjang untuk dijabarkan. Sekarang yang perlu
dibahas adalah problema yang melanda remaja kita ini, yang juga ikut-ikut korup
dalam membudidayakan sikap keremajaannya di kehidupan sehari-hari.
Budaya koruptif tengah meracuni
remaja-remaja kita yang diakibatkan oleh contoh-contoh tidak baik dari para
pendahulunya. Dimana saja, kapan saja selalu ada budaya koruptif dengan beragam
wajah, oknum, dan tingkat strata masyarakat. Akhirnya, remaja juga yang kena
cipratannya. Remaja yang seharusnya diayomi agar tidak labil, malah
dipertontonkan berita-berita yang isinya itu-itu saja, pasti kaitannya dengan
penyelundupan, pasti kaitannya dengan penggelapan, pasti kaitannya dengan korupsi,
dibawah satu payung KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Bukan masalah
beritanya, permasalahannya terletak pada isi berita yang kian membuat miris
bangsa ini. Tidak ada habis-habisnya, selalu saja menjadi topik yang tidak ada
henti-hentinya dibicarakan.
Tentu ini menjadi permasalahan kita semua
sebagai bangsa yang mendiami negeri ini. Karena biar bagaimanapun, negeri ini
nanti akan memiliki tunas bangsa yang akan menjadi penerus pendahulunya. Nah,
realitanya negeri kita sekarang ini sedang mengalami krisis yang berkepanjangan
dengan tingkat kesejahteraan rendah. Untuk saat ini, akan sangat sulit
mengeluarkan negeri dari krisis yang
tengah melanda ini. Ya, paling tidak dengan ini, walaupun kita sulit keluar
dari situasi seperti ini, kita sepatutnya sadar posisi kita sekarang. Situasi
yang mendesak diri sendiri saja, kita harus hadapi dengan semangat, apalagi
situasi menyangkut nama martabat bangsa dan negara, jangan sampai kita
malas-malasan.
Ini tentang remaja. Remaja kita dengan
mudah menghirup kebiasaan-kebiasaan koruptif. Dan ada kemungkinan nanti, mereka
akan mengikuti sikap dan tingkah laku yang berbau koruptif dengan tingkat yang
amat parah melebihi pendahulunya. Mereka bisa saja ikut korupsi seperti
pendahulunya, tidak sebatas sikap dan tingkah laku koruptif yang biasa mereka
mainkan saat ini. Mereka juga dapat menyelundupkan apa saja yang mereka
butuhkan demi keuntungan sendiri tanpa memikirkan orang lain, karena mereka
akan lebih parah dari pendahulunya. Penggelapan berupa uang bermilyaran,
triliunan yang biasa dilakukan pendahulunya, akan mereka lakukan bahkan melampaui
keserakahan pendahulunya. Karena para remaja ini tengah menghadapi tekanan dari
segala penjuru, berbeda dengan orang zaman dulu, para pendulu kita yang hidupnya
tidak diiringi oleh informasi dan teknologi yang memadai. Ya, semoga saja tidak
terjadi hal-hal separah itu.
Untuk itu penting bagi seorang pemerhati
pendidikan untuk memperhatikan nasib anak bangsa ini. Para orangtua dan guru
sebagai orang-orang terdekat dan disegani, mempunyai andil dalam meluruskan
anak-anaknya. Ada beberapa contoh kenakalan remaja menyangkut budaya koruptif
yang kini semerbak di tanah air ini.
Pertama, kasus contek-mencontek. Dalam
bidang pendidikan, kasus ini sudah lama menghiasi sektor ujian nasional di
tanah air ini. Sekian lama kita terjajah oleh contek-mencontek, dan secara
gamblang dianggap oleh kita sebagai sesuatu yang biasa dilakukan, ditradisikan,
dan dibanggakan tiap tahunnya. Naas sekali melihat selang pandang seperti ini. Lebih
parah lagi, contek-mencontek ini tidak hanya menggerogoti bidang pendidikan,
tetapi ikut menggerogoti bidang lainnya. Seperti dalam sektor pers dan
entertaiment. Negeri ini telah banyak mencontek konsep barat dalam pengadaan
reality show, kontes penyanyi, kontes kecantikan dan lain sebagainya. Indonesian
Idol, yang mencontek American Idol dari mulai penjurian, peserta, cara
penyeleksian, proses eliminasi, semuanya mengikuti American Idol, bahkan lay
out tulisan Indonesian Idolnya pun mengikuti American Idol. Indonesian Idol
memang tidak ada lagi, tapi hal ini tidak menjerakan pihak terkait. Muncul kemudian
X-Factor menggantikan Indonesian Idol. Ini belum seberapa karena masih ada
banyak lagi. Anda sendiri bisa menilainya, jika menonton televisi.
Negeri ini seperti kekurangan kreativitas,
padahal ada banyak ide-ide kreatif yang bisa diaplikasikan, kalau saja
suara-suara hati tersebut mau didengarkan. Jangankan mendengarkan ide-ide
kreatif tersebut, mendengarkan suara kebenaran pun tak pernah sama sekali. Inilah
jadinya negeri ini, negeri yang latah dan penuh intrik berbahaya. Negeri ini
sudah terpengaruh banyak campur tangan barat, sehingga proses perkembangannya
pun harus mengikuti kemajuan barat. Padahal apa jaminan negeri ini maju dengan
sistem yang mereka terapkan. Adanya hanya sistem penghancur perlahan-lahan,
bukan sistem yang mendukung perkembangan negeri ini ke depan.
Kita hanya masih belum sadar saja, tengah
menghadapi dekadensi moral yang parah. Pasti anda setuju kalau budaya latah itu
adalah budaya orang penguntit, tak berpendirian, dan parahnya sampai mencuri.
Orang penguntit itu orang yang tidak disukai keberadaannya karena dianggap
selalu mengikuti kemana saja arah tujuan seseorang. Mereka tak berpendirian,
karena mereka selalu mencontek tiap gerak-gerik orang yang mereka ikuti.
Terakhir mereka akan mencuri konsep yang mereka sudah pahami, dan mengaku-ngaku
kalau konsep tersebut adalah konsep atau sistem yang mereka buat dengan jerih
payah sendiri. Lebih parahnya lagi, mereka akan menghilangkan dan memusnahkan
dokumen-dokumen, manuskrip-manuskrip, tentang konsep sebenarnya, tentu beserta
dengan pembuat dan penggagas awalnya. Amat bahaya bukan seorang penguntit, ia
dapat menjadi seorang mata-mata dan pencuri ulung. Itulah yang terjadi
sekarang, negeri ini tengah dididik untuk menjadi seorang penguntit, agar mereka
mempunyai anak-anak buah yang patuh terhadap mereka. Bukankah mereka terkenal
dengan penguntit? Yang tidak senang memiliki pesaing disampingnya.
Apa jadinya bangsa dan negara ini, jika
terus-menerus mengikuti sistem penghancur tersebut. Bangsa akan terpecah belah,
negara perlahan-lahan akan mengalami kemunduran bukannya kemajuan. Memang ada secuil
titik-titik dimana sistem tersebut mendukung kemajuan negara, tetapi jika terus
menerus termakan sistem tersebut, maka tak ayal lagi negeri ini akan hancur
perlahan-lahan. Kalau sudah demikian, semua strata masyarakat dari segala
tingkat akan saling menyalahkan satu sama lain, yang kaya menyalahkan yang
miskin begitupun sebaliknya, yang tua menyalahkan yang muda begitupun
sebaliknya, yang punya derajat lebih tinggi menyalahkan anak buahnya begitu
juga sebaliknya. Mau tidak mau juga
bangsa ini mengorbankan anak bangsa, para remaja yang selama ini menjadi
harapan penerus dan tunas bangsa.
Sampai detik ini pun ada banyak remaja kita
yang sudah terkontaminasi oleh tontonan-tontonan tak beresensi dan bermoral,
apa yang mereka dengar, apa yang biasa mereka lihat sepanjang hari. Mereka
sudah menjadi korban sifat orangtuanya yang seharusnya memantau, mengayomi,
memerhatikan, mendidik, menyadarkan, dan menjadi sandaran. Naas memang, banyak dari
orangtua yang tidak mengerti keperluan anak sebenarnya, justru beralasan mereka
sudah berusaha menjadi yang terbaik bagi anaknya, nyatanya mereka selalu fokus
terhadap pekerjaan, sibuk dengan kepentingan duniawi, dan secara enteng mereka
hanya bilang bahwa mereka telah memberikan pendidikan yang layak, fasilitas
yang layak, sarana yang nyaman, penghidupan yang lebih dari cukup tanpa
berpikir anak mereka sedang ada di rumah, sendirian tidak ada teman untuk
mencurahkan keluh-kesahnya.
Begitu juga, ada guru yang tidak mengetahui
seluk-beluk anak didiknya. Mereka hanya mengajar saja di sekolah tanpa
membimbing anak didiknya di luar sekolah. Guru seperti inilah yang seringkali
acuh tak acuh jika ada masalah menimpa anak didiknya di luar sekolah, dengan
alasan itu bukanlah tanggung jawabnya lagi karena berada pada lingkup di luar
sekolah. Padahal ada banyak anak didik yang membutuhkan pertolongannya agar
keluar dari problema yang melilit mereka (anak didik). Tentu saja bagi mereka
yang tidak mempunyai orangtua pasti akan melimpahkan dan mencurahkan segala
keluh-kesahnya kepada gurunya, bukankah demikian?
Untuk itu permasalahan kedua yang mesti
dihadapi oleh seorang pendidik adalah kasus pelarian. Kasus pelarian
biasanya seringkali kita dengar saat anak didik merasa dirinya tidak mempunyai
siapapun, sehingga ia lari dari tanggung jawabnya, lari dari kebiasaan positif,
lari dari ujian hidup yang menurutnya adalah kebosanan, lari dari tekanan batin
yang semakin menghimpitnya. Kasus Ini sebenarnya bukanlah bagian dari budaya
koruptif. Namun biar bagaimanapun seorang remaja pelarian, berarti dia sudah
mengalami frustasi dan bisa jadi inilah penyebab timbulnya sikap dan perilaku
yang tidak diinginkan oleh pemerhati pendidikan, termasuk sisi koruptif dalam
diri remaja. Memang seperti inilah awalnya, lantaran tidak ada perhatian sama
sekali dari kalangan pendidik, baik pendidik di rumah maupun di sekolah, mereka
akhirnya lari dan menginginkan kesenangan sebagai penghibur kebosanan mereka,
karena tidak ada kasih sayang yang mereka butuhkan.
Dan ujung-ujungnya diantara mereka ada yang
mengakhiri hidupnya, karena tidak mendapatkan kesenangan yang paling mereka
inginkan walaupun sudah berusaha menghibur diri dengan kesenangan lain. Lama-kelamaan
mereka bosan dengan hidup ini, dan bunuh dirilah menjadi jalan pintasnya.
Sungguh tragis mengakhiri riwayatnya dengan bunuh diri. Siapa yang patut
disalahkan? Pastilah seorang pendidik. Baru satu masalah bunuh diri, adalagi anak
didik pelarian yang berubah menjadi anarkis dan tidak terkontrol. Pekerjaannya
tauran, pembuat onar, dan tukang rusuh. Adalagi anak didik pelarian yang main
geng-gengan, sekedar mencari kesenangan. Adalagi yang mengkonsumsi miras dan
narkoba/narkotika. Lagi-lagi ini kesalahan pendidik yang tidak menjalankan tugasnya
dengan benar. Masalah-masalah tersebut merembet, dan ada masalah lain yang
menunggu, tidak ada habisnya. Bisa jadi di kemudian hari, ada dan akan muncul
masalah baru dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Sekali lagi ini menyangkut kejelian seorang
pendidik. Remaja tidak akan mengambil jalan pintas seperti yang dipaparkan,
kalau saja ada inisiatif dari seorang pendidik untuk memperhatikan setidaknya
seorang anak didik atau seorang anak saja, tidak usah banyak-banyak. Kalau
sudah terselesaikan satu saja, pendidik bisa mempunyai gambaran tentang anak
didiknya yang satu ini, dan gambaran ini pasti tidak jauh berbeda dengan
permasalahan anak didik lainnya yang menjadi pelarian. Intinya harus
diperhatikan anak didik itu, agar tidak lepas dan dalam keadaan stabil meskipun
pelarian. Anak didik yang menjadi pelarian itu mempunyai kebingungan, maka
tugas seorang pendidik adalah membuatnya yakin dan kepercayaan dirinya melonjak
stabil.
Perlu diketahui hal-hal seperti mencontek, bunuh
diri, tauran, geng-gengan, mengkonsumsi miras dan narkoba/narkotika, semua itu
bukanlah budaya yang baik dalam dialektika pendidikan khususnya. Itu semua
adalah budaya koruptif yang mesti dihilangkan sampai akarnya. Dari mulai
mencontek, orang yang mencontek adalah orang yang punya bakat untuk mencuri.
Realitasnya, mencontek ibaratnya seperti mengambil sesuatu tanpa diketahui
orang lain, mengambil untuk mengetahui kunci jawaban yang benar, mengambil agar
tahu jawaban teman, mengambil untuk mencontoh kebudayaan orang lain, mengambil
untuk menjiplak karya orang lain, dan hal ini sama saja dan sesuai dengan
konsep mencuri. Bunuh diri, adalah perbuatan terburuk diantara yang terburuk,
karena berani menentukan takdir kematiannya sendiri. Orang yang bunuh diri
adalah orang yang gambarannya mengambil nyawanya sendiri, tanpa pikir panjang
dan kebanyakan terjadi tanpa sepengetahuan orang lain. Bunuh diri sama saja
mencuri, karena merampas kebahagiaan orang lain. Orang disekelilingnya akan
merasa sedih, berduka dan merasa bersalah. Tauran, adalah kebiasaan orang bobrok yang mementingkan emosi kebanding
hati nurani. Tauran identik dengan kerusuhan, pertikaian, pertengkaran yang
niat awalnya adalah merusak. Biasanya cenderung terjadi karena adanya unsur
balas dendam. Ciri-cirinya adalah keroyokan,
dan tidak gentleman. Geng-gengan,
sama dengan pilah-pilih teman, dan kita tahu pilih-pilih teman sama dengan
mementingkan ego dan lagi-lagi mengambil keinginan orang lain yang ingin
bergaul dan punya teman.
Mengkonsumsi miras dan narkoba/narkotika,
ialah pekerjaan pengangguran. Mau dibilang apalagi? Tidak ada yang pantas,
pengangguran tetap pengangguran. Sebenarnya ini sindiran, karena pengkonsumsi
miras dan narkoba/narkotika seperti tidak ada kerjaan saja. Mengkonsumsi miras
dan narkoba/narkotika sama saja dengan memanipulasi haknya dan mengurangi
kewajibannya, karena orang yang mabuk-mabukan pasti berpikir tidak jernih dan
merugikan orang lain. Orang yang terdidik tidak akan punya keinginan untuk
melakukan hal-hal demikian, karena orang yang terdidik adalah orang yang paham
akan kredebilitas dirinya, dan punya porsi keseimbangan untuk memilih mana yang
benar dan mana yang salah baginya. Orang yang terdidik juga tahu dan sadar
hakikat dari pendidikan, dimana hubungan atau relasi antara pendidik dengan
anak didik sangat penting sekali dalam mewujudkan kepentingan bersama. Oleh
karena itu, jika ada hal janggal yang kita temui dari seorang anak didik dengan
tingkat labil yang tinggi, maka perlu dipertanyakan pendidiknya. Dan jika ada
diantara pendidik yang malah mencontohkan hal-hal yang tidak diinginkan
tersebut, artinya perlu dipertanyakan ihwal kedudukan dan posisinya sebagai
seorang pendidik.
Sekarang anda sudah tahu bukan, betapa
berbahaya dan merugikannya KKN itu. Budaya koruptif saja merugikan, apalagi
KKN. Pesan terakhir saya, sebagai seorang pelajar, jangan sampai kita menunggu
datangnya uluran tangan orang lain. Usahakan untuk menjauhi sendiri hal-hal
berbau budaya koruptif tersebut. Kalaupun kita sampai putus asa, jangan
sampailah terjerumus hal-hal demikian, karena anda kini sudah tahu betapa
merugikannya hal-hal tersebut, baik bagi diri sendiri dan orang lain. Pesan
terakhir saya, sebagai seorang pendidik. Pendidik adalah tugas mulia, yang
harus diemban erat-erat dan tidak dilepaskan begitu saja. Ada banyak anak didik
yang memerlukan perhatian seorang pendidik, karena teman sebaya saja tidak
cukup untuk mereka. Butuh perhatian berupa kasih sayang dari orang dewasa
kepada mereka. Orang dewasa, orang yang lebih tahu dan lebih berpengalaman dari
mereka, dan tempat resmi untuk berkeluh-kesah kebanding kepada teman-teman
sebayanya. Jadi, baik orangtua maupun guru, mari perhatikan anak kita.
0 komentar:
Posting Komentar