Benarkah Menulis Kebutuhan Manusia?
“Menulis adalah kebutuhan bagi manusia” Pernyataan ini membuat kita berpikir beberapa kali, tentunya untuk sebagian kalangan biasa, yang juga sering kita sebut sebagai awwamun. Padahal menulis merupakan penumpahan ide dan gagasan, baik berupa curahan hati, karangan, atau sebuah kumpulan catatan mendasar. Sehingga perlu digaris bawahi, dari ketiga garis besar ini, artian dari menulis itu sendiri sudah mewakili keadaan kita di mata orang lain. Ada banyak penelitian yang membahas secara runtut tentang implementasi menulis sebagai nilai karakter seseorang. Penilaian karakteristik seseorang memang bukanlah titik kejelasan dari semua elemen yang membangun manusia secara umum, akan tetapi dari karakteristik inilah kita dapat mengetahui setidaknya menebak tingkah laku dan perbuatan seorang manusia dari masa lalunya sampai yang akan datang.
Jika seorang tetap menulis dengan keterbatasan yang dimilikinya, itu berarti dia mempunyai banyak kekurangan yang tidak ingin diungkapkannya lewat pembicaraan dengan orang lain. Ia adalah orang yang tertutup yang memiliki segudang rahasia yang membuatnya amat banyak menulis, karena menulis adalah suatu kebutuhan baginya. Tanpa disadari olehnya, menulis itu menjadi senjata pamungkas baginya, dan sebenarnya tidak saja menutupi kekurangan yang ada dalam dirinya, akan tetapi juga memperlihatkan kemampuannya dalam bidang tulis-menulis. Orang yang sedemikian sering menulis, ia akan terasah kemampuan baik kosa katanya, susunan narasinya, dan deskripsinya, walaupun ia tak menyadari ia sendiri yang membuatnya dan itulah kemampuannya yang dapat menutupi kekurangannya. Menakjubkan bukan dunia tulis-menulis itu.
Seseorang yang sering menulis juga mau tidak mau harus memiliki pengetahuan dan syarat akan tanggung jawabnya sebagai seorang penulis. Tulisannya akan dibaca oleh khalayak ramai, akan dibedah serta dikaji oleh banyak orang, dan akan dijadikan landasan atau rujukan materi yang ada kaitannya dengan tulisan yang ingin dibuat. Membicarakan tulis-menulis seperti membicarakan masakan lezat yang membuat selera makan bergairah, sehingga orang tertarik untuk memakannya sampai habis. Sama halnya dalam tulis-menulis, orang secara tidak langsung dibuat tersihir dengan rangkaian kata yang membangun tulisa tersebut. Tentu saja dalam masakan lezat memiliki bumbu-bumbu masak penyedap rasa yang membuat lezat dan enak untuk dikonsumsi. Begitu pula tulis-menulis, dalam hal ini juga me miliki bumbu-bumbu dasar dalam membuatnya, dan masing-masing penulis memiliki bumbu-bumbu dasar tersebut untuk menarik minat baca khalayak ramai.
Tidak ada alasan untuk tidak menulis. Karena menulis merupakan satu kegiatan berpikir ala dualisme, yakni antara membaca dan menulis itu sendiri. Jika seorang tidak menulis, maka ia punya kelemahan dalam sisi tulisannya. Orang yang mempunyai kelemahan dalam tulisan, bisa dibilang tidak mampu menuangkan apa yang sudah dibacanya, ia hanya mampu mengungkapkannya lewat lisan/pembicaraan terhadap orang lain. Padahal dalam bangku kuliah, ia nantinya akan dihadapkan dengan tugas makalah, pembuatan paper, naskah penelitian, skripsi, tesis, desertasi dan lain sebagainya. Semua itu memerlukan kebiasaan mendasar dalam tulis-menulis. Bahkan setelah bisa dan terbiasa menulis dengan kemampuan dasar pun, kita masih harus banyak mempelajari pola-pola penulisan lain di luar konteks dasar. Namun tetaplah perlu diketahui bahwa dunia tulis-menulis itu tidaklah rumit, menulis sebenarnya mudah dan tinggal melakukannya saja secara praktis.
Seseorang yang sering menulis juga mau tidak mau harus memiliki pengetahuan dan syarat akan tanggung jawabnya sebagai seorang penulis. Tulisannya akan dibaca oleh khalayak ramai, akan dibedah serta dikaji oleh banyak orang, dan akan dijadikan landasan atau rujukan materi yang ada kaitannya dengan tulisan yang ingin dibuat. Membicarakan tulis-menulis seperti membicarakan masakan lezat yang membuat selera makan bergairah, sehingga orang tertarik untuk memakannya sampai habis. Sama halnya dalam tulis-menulis, orang secara tidak langsung dibuat tersihir dengan rangkaian kata yang membangun tulisa tersebut. Tentu saja dalam masakan lezat memiliki bumbu-bumbu masak penyedap rasa yang membuat lezat dan enak untuk dikonsumsi. Begitu pula tulis-menulis, dalam hal ini juga me miliki bumbu-bumbu dasar dalam membuatnya, dan masing-masing penulis memiliki bumbu-bumbu dasar tersebut untuk menarik minat baca khalayak ramai.
Tidak ada alasan untuk tidak menulis. Karena menulis merupakan satu kegiatan berpikir ala dualisme, yakni antara membaca dan menulis itu sendiri. Jika seorang tidak menulis, maka ia punya kelemahan dalam sisi tulisannya. Orang yang mempunyai kelemahan dalam tulisan, bisa dibilang tidak mampu menuangkan apa yang sudah dibacanya, ia hanya mampu mengungkapkannya lewat lisan/pembicaraan terhadap orang lain. Padahal dalam bangku kuliah, ia nantinya akan dihadapkan dengan tugas makalah, pembuatan paper, naskah penelitian, skripsi, tesis, desertasi dan lain sebagainya. Semua itu memerlukan kebiasaan mendasar dalam tulis-menulis. Bahkan setelah bisa dan terbiasa menulis dengan kemampuan dasar pun, kita masih harus banyak mempelajari pola-pola penulisan lain di luar konteks dasar. Namun tetaplah perlu diketahui bahwa dunia tulis-menulis itu tidaklah rumit, menulis sebenarnya mudah dan tinggal melakukannya saja secara praktis.
Benarkah tulis-menulis itu kebutuhan manusia? Tentu saja itu adalah kebutuhan manusia. Jangan sampai ditinggalkan begitu saja. Menulis adalah sisi terganda dalam mengeluarkan argumen paling jitu. Dengan menulis orang paham sekaligus juga penulisnya dapat memahami alur tulisannya dengan baik. Seorang penulis akan memiliki kredibilitas sendiri dalam menuai kata-kata untuk tulisannya. Mereka memiliki kemampuan berpikir dua kali lipat dibanding seorang pembaca biasa. Bagi seorang penulis, sekalipun menulis adalah kegiatan ala dualisme, antara keterkaitan bacaan dengan tulisan yang ia buat sendiri, menulis juga dapat menjadi ketidak-terbatasan tidak seperti yang ditemukan dalam penyampaian lewat lisan/pembicaraan, karena adanya kata, pola pikir, dan ingatan melimpah di dalamnya. Berbeda dengan penyampaian secara lisan/pembicaraan, yang justru lebih rawan dan beresiko dengan sifat lupa, kehabisan kata, dan pola pikir yang terbatas.
Penulis artikel misalnya saja. Penulis artikel dengan satu buah lembar saja bukanlah ketidak-layakan yang harus ditertawakan. Sebuah artikel yang sebarispun lebih baik jika isinya bisa membuat orang yang membacanya dapat tertarik, dimengerti, berpikir bahwa tulisan itu simpel dan pembahasannya tidaklah monoton seperti kebanyakan penyampaian secara lisan. Pastinya, ini lebih baik dibanding berbicara berjam-jam dengan berbusa-busa, bukankah begitu?
Banyak orang menulis karena uang, dan ini salah. Menulis itu untuk mengkalkulasikan perhitungan kita antara bacaan yang telah kita baca dan menyatukannya pada sebuah kesimpulan umum berupa tulisan. Jelas bukan untuk mengkalkulasikan penghasilan yang kita dapatkan dari tulisan tersebut. Anggap saja komisi yang kita terima seandainya kita menulis adalah sebuah sampingan saja (sampingan dari sampingan), sebagai penyemangat agar kita lebih giat dalam menulis.
Kita garis bawahi menulis adalah sebuah kebutuhan sampingan bagi manusia. Tentu saja, karena menulis tidak harus dikerjakan sehari tiga kali, seperti halnya makan, mandi, dan kebutuhan wajib lainnya yang mesti dikerjakan sehari tiga kali. Menulis merupakan kebutuhaan yang tak kalah penting dengan kebutuhan lainnya. Karena jika misalnya, seorang ibu rumah tangga melupakan apa saja barang belanjaannya ke pasar, maka ia otomatis akan melihat kembali tulisan daftar barang belanjaannya, karena ia menulis. Bayangkan jika dia tidak menulis, maka ia tidak akan bisa mengingat semua belanjaannya dengan baik.
Seorang pelajar di sekolah, dia menulis apa yang gurunya tulis di papan tulis dan mencatat setiap ada keterangan penting dari penerangan gurunya. Seorang manajer, ia harus mengingat siapa saja pegawainya dan apa saja daftar pekerjaannya pada hari ini, agar dia tahu situasi dan kondisi pada saat di kantor, sehingga ia bisa mengatur pegawainya dengan cekatan dan terampil. Lihatlah! Semuanya membutuhkan menulis bukan. Namun demikian jelas sekali bahwa contoh menulis diatas bukanlah menulis mendasar yang saya maksudkan, masih sangat dasar dan terlalu biasa sekali menulis yang seperti itu. Menulis yang saya maksudkan adalah menulis dengan porsi tertentu, namun bukan sekedar mencatat, membuat daftar ingatan, tetapi juga kemampuan utama dan timbal balik yang ada di dalamnya, yaitu kiat menarik dan kiat dorongan.
Kiat menarik yang dimaksud adalah saat kita berkomunikasi dengan pembaca. Seorang penulis pemula, biasanya masih belum menemukan kecocokan khas dalam tulisannya. Alur tulisannya juga masih berantakan. Namun demikian seorang penulis pemula juga berusaha mencari keleluasaannya dalam mencari daya tarik dari tulisannya, agar pembaca merasa terkesan dan tidak cepat bosan membacanya (walaupun itu bukan tujuan utama dalam menulis).
Adapun kiat dorongan adalah bagaimana seorang penulis mempunyai kemauan untuk persaingan (bagi yang merasa iri dan cepat nge-dont), tetapi untuk kesenangan, sekedar mengisi waktu senggang, sebagai kebutuhan sampingan, dan intinya jangan pernah putus menulis walaupun itu hanya kebutuhan sampingan. Karena biar bagaimanapun menulis itu adalah kebutuhan yang bermanfaat, tidak menyia-nyiakan, tidak merugikan dan menghasilkan. Mari menulis kawan, bukan untuk siapa-siapa. Tetapi untuk bersama...
0 komentar:
Posting Komentar