1 Istil@h Seput@ria


Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Kalian Ya...!!!

Melacak Garis Lurus Orientasi Gerakan Sosial Baru

Sosialisme hadir untuk membela kepentingan masyarakat, khususnya bagi mereka para kaum tertindas di dalam masyarakat. Berbicara di Indonesia saja, saya akan membacanya garis lurus, apabila ia benar-benar cita-cita sosialisme yang ada sejak awal era pergerakan menuju kemerdekaan.
Menurut pengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online, Rudi Hartono, dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, diskursus sosialisme sangat dominan. Hampir semua spektrum politik pergerakan nasional, yakni nasionalis, agamais, dan marxis, mengakui cita-cita sosialisme dengan berbagai variannya. Artinya, sebenarnya cita-cita sosialisme kemudian adalah cita-cita yang diidam-idamkan dan diharapkan sangat kehadirannya oleh semua kalangan, yang bahkan dalam ranah spektrum politik pergerakan nasional mengakui cita-cita sosialisme sebagai kesepahaman, kesepakatan, dan diskursus bersama.


Revolusi dan Cita-cita Sosialisme Bung Karno
Bung Karno dianggap sebagai bapak proklamator RI. Ia adalah seorang yang terus getol melantangkan dan menegaskan revolusi dan cita-cita sosialisme-nya, semisal saat dengan lantang mengatakan dalam pidatonya tertanggal 17 Agustus 1964,

Revolusi kita bukan sekadar mengusir Pemerintahan Belanda dari Indonesia. Revolusi kita menuju lebih jauh lagi daripada itu. Revolusi Indonesia menuju tiga kerangka yang sudah terkenal. Revolusi Indonesia menuju kepada Sosialisme! Revolusi Indonesia menuju kepada Dunia Baru tanpa ‘exploitation de l‘homme par l‘homme’ dan ‘exploitation de nation par nation”[1]

Cita-cita sosialisme yang diprakarsainya adalah revolusi menuju Indonesia, dimana tidak adalagi gangguan, rongrongan, ancaman, dan bahaya yang datang. Negara murni berdikari, mengolah asetnya sendiri tanpa eksploitasi (baca: gangguan, rongrongan) dari kolonialis, kapitalis, dan imperialis. Negara murni memiliki ide gagasan negara sendiri tanpa copy paste, duplikasi, atau tiruan dari manapun, walaupun diawali dengan mencontoh negara lain. Sehingga pada akhirnya bangsa dari negara tersebut benar-benar memiliki negaranya sendiri seutuhnya, sepenuhnya dan semakmurnya.
Lebih terang, kita mungkin akan menyimpulkan, pada intinya cita-cita ini adalah cita-cita mulia yang seharusnya hadir bagi bangsa Indonesia, yang merepresentasikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat agamis, beradab, makmur, adil dan sejahtera suatu hari.

Pancasila; Dasar Pijakan Keberagaman Sosial Indonesia
Pancasila sebagai ideologi negara yang di dalamnya melingkupi cita-cita hidup orang banyak, dicetuskan bersama oleh tokoh-tokoh kebangsaan tiada lain untuk merealisasikan bersama cita-cita mulia, yakni untuk mewujudkan masyarakat agamis, beradab, makmur, adil dan sejahtera. Kelima poin tadi sudah termaktub dalam Pancasila yang terbagi ke dalam 5 sila.
Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Saat Piagam Jakarta, dalam sila pertama pancasila berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya” sampai kemudian terdapat perubahan redaksional dengan menghilangkan tujuh kata setelah kalimat “Ketuhanan yang Maha Esa…” yakni, “Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya”, sehingga menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa” saja.
Dalam sejarahpun kemudian dicatat, ketika pembukaan UUD 1945 hendak ditetapkan, sebagian saudara sebangsa kita dari Indonesia sebelah Timur meminta supaya tujuh kata sesudah kalimat “Ketuhanan yang Maha Esa” dihapus. Maka, kemudian dilakukan konsultasi dengan tokoh-tokoh islam, seperti KH. Hasyim Asy’ari dan lain-lain, hingga pada akhirnya disetujui penghilangan tujuh kata tersebut, dengan landasan bahwa mempertahankan tujuh kata dalam sila pertama tersebut, menurut KH. Wahid Hasyim, putra KH. Hasyim Asy’ari, akan membuka pintu sektarianisme dalam perpolitikan Indonesia[2].
Hal ini tentu mengingatkan kita kembali pada era terbaik sepanjang masa, masa ketika Rasulullah bersama para sahabat menyebarluaskan Islam rahmatan lil alamin, yakni keselamatan bagi keseluruh alam, termasuk umat manusia. Islam bertengger dan berdiri diantara keberagaman, perbedaan dan mampu menerimanya (baca: toleransi).
Sebagaimana terjadi ketika perumusan Perjanjian Perdamaian Hudaibiyah (Shulh al-Hudaibiyah) antara Rasulullah dan para sahabat di satu pihak dengan para pemuka kaum Quraisy di lain pihak. Dalam draft yang didiktekan oleh Rasulullah dan ditulis oleh sahabat Ali r.a., terdapat kalimat “Bi ism al-rahman al-rahim” dan “Rasul Allah”. Suhel bin Amr, mewakili pihak Quraisy dengan tegas menolak kalimat itu: “Jika kami menerima (mengimani kalimat) itu, untuk apa kita berunding?” Semula sahabat Ali menolak keras permintaan Suhel tersebut. Tapi dengan kebesaran hatinya, Rasulullah menerima usulan itu dan bahkan mencoretnya dengan tangan beliau sendiri, yang artinya ia menghapus, menghilangkan dan membuang kata-kata tersebut. Sama persis seperti penghapusan tujuh kata setelah “Ketuhanan yang Maha Esa”.      Maka tercapailah kesepakatan damai (baca: genjatan senjata) antara kedua pihak[3].
“Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai sila pertama, telah menyelaraskan pandangan religiusitas bangsa guna memeluk agama dan keyakinannya masing-masing tanpa ada paksaan dan tanpa ada gangguan bagi siapapun yang beribadat dengan baik dan taat. Sila pertama ini pun juga telah menjembatani adanya perbedaan kepercayaan tiap manusia yang hidup di Indonesia dengan kepercayaan masing-masing, agar dapat beribadat sesuai kepercayaannya dan tidak saling sentiment, tidak membuat masalah, dan tidak merusak keyakinan, adab, budaya, moral serta etika satu sama lain.
Kedua, adalah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Manusia butuh keadilan dan keberadaban. Sejak baru lahir, semua manusia diciptakan dari saripati yang sama. Proses perubahannya pun melewati tahapan sama. Semua manusia yang lahir di dunia pernah menjadi janin, embrio, dan bayi. Semua manusia memiliki hak asasi-nya sejak lahir.
Keadilan dan keberadaban menjadi suatu keniscayaan bagi manusia. Tuhan sendiri telah mengajarkan kepada kita tentang perilaku adil dan beradab, termaktub dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 90,

إ
نَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya:
Sesungguhnya Tuhan (Allah) menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebijakan, memberi kepada kamu kerabat, dan Tuhan (Allah)  melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (16: 90)

Tuhan memberi pengajaran agar manusia berlaku adil dan berbuat kebijakan, dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan akan selalu menjadi tolak ukur larangan Tuhan kepada manusia. Keji, kemungkaran, dan permusuhan adalah lawan-lawan dari keadilan, kebijaksanaan dan keberadaban. Dan keadilan, kebijaksanaan dan keberadaban merupakan perintah Tuhan (baca: Allah) yang mesti ditegakan di muka bumi, sebagaimana tergambarkan dalam Al-Qur’an.
Menurut Masdar Farid, prinsip-prinsip dasar yang dikenal dengan Pancasila meliputi salah satunya, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah sebagai landasan etiknya[4]. Landasan etik ini kemudian dimaksudkan sebagai penisbatan manusia untuk memunculkan diri dan memanusiakan diri, yakni dengan keadilan dan keberadaban. Di sisi lain, manusia memiliki sikap kemanusiaan seperti tolong-menolong, toleransi, perhatian, kasih sayang, dan cinta, juga sifat kemanusiaan seperti kejujuran, memegang amanah serta tanggung jawab, menyampaikan kebaikan, dan cerdas dalam menentukan arah serta pilihan.
Berpikirnya manusia oleh karena akal sehat yang menggerakannya, menjadikan manusia mampu bernalar, daya peka, dan insting luar biasa guna melihat masa depan. Manusia memiliki pemikiran dan pandangan masing-masing tentang masa depan. Entah masa depan akan baik dan buruk, ditentukan oleh pemikiran dan pandangan manusia saat ini, yang kemudian terrepresentasi dalam perbuatan, sifat dan tingkah laku dalam kehidupan. Tuhan selalu memberi pengajaran di setiap peristiwa, guna memberi manusia pelajaran, bahkan untuk menentukan masa depannya baik atau burukah masa depan itu. Masa depan bagi manusia dan kemanusiaan.
Ketiga, Persatuan Indonesia. Keberagaman sosial Indonesia, aneka ragam ras, suku, etnis, adat istiadat, dan budaya, disatukan ke dalam satu kata “Indonesia”. Masdar Farid pun menilai Persatuan Indonesia sebagai acuan sosial dari prinsip dasar Pancasila[5]. Indonesia dengan banyak limpahan karunia dari Tuhan, berupa tanah yang subur, beragam kebudayaan, beragam bahasa, beragam hasil alam melimpah, dan beragam flora-fauna langka, tidak dimiliki oleh bangsa dan negara lain, merupakan kesyukuran dan kenikmatan hidup, sehingga dimanapun berada, bangsa harus menjaga kekayaan Indonesia, bangsa mesti bersatu sekuat tenaga, jiwa dan raga untuk mempertahankan Indonesia. Agama, ras, suku, etnis, adat istiadat, dan budaya boleh berbeda, tetapi ketika mendengung nama “Indonesia”, semua disatukan. Semua bersatu melawan segala bentuk kedzaliman, kelaliman, dan tindak kejahatan.
Persatuan merupakan jalan menuju tatanan sosial maju. Manusia yang maju adalah manusia yang dapat berhubungan satu sama lain tanpa membeda-bedakan, mendiskriminasi, dan membuat permusuhan. Manusia semacam ini, yang nantinya dapat menyatukan bangsa.
Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Lagi-lagi menurut Masdar Farid, kerakyatan sebagai prinsip kenegaraan berarti bahwa kepentingan atau kemaslahatan rakyatlah yang harus menjadi sumber dan rujukan semua kebijakan dan langkah kekuasaan negara, bukan terutama kepentingan penguasanya atau si kuat yang ada di atas[6]. Maka tidak salah kemudian Masdar Farid menilai sila ke-empat ini sebagai acuan politik prinsip dasar Pancasila[7], yang berkenaan soal kepemimpinan, kerakyatan, serta hubungan politis antara rakyat bersama pemimpin dalam berbangsa dan bernegara.
Lebih jelas lagi, rakyat mesti diberikan ruang, wadah dan saluran penghubung, agar terjalin sebuah dialog, dapat memunculkan kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, serta kebebasan untuk memberi ide gagasan bangsa dan negara. Rakyat perlu dilibatkan di dalam permusyawaratan, boleh diwakilkan perwakilan terbaik atau siapapun yang mempunyai pandangan dan pemikiran cemerlang tentang bangsa dan negara, tentunya akan memberikan sumbangsih berupa kerja nyata dan kinerja baik, konsisten serta maksimal.
Pemimpin bagi rakyat haruslah seorang arif dan bijaksana, sehingga mampu memimpin rakyat dengan baik, memenuhi segala kebutuhannya dengan proporsional dan berimbang, melakukan pembangunan berkemajuan baik pembangunan sikap, moral, dan etika bangsa yang terangkum dalam pembangunan sumber daya manusia berkelanjutan, maupun pembangunan fasilitas, sarana, prasarana guna menunjang kepentingan rakyat tanpa terkecuali. Pada akhirnya kerakyatan dengan kepemimpinan semacam ini, dapat mewujudkan hikmah dan kebijaksanaan guna merealisasikan bangsa dan negara berkemajuan.
Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Notonagoro melihat bahwa Pancasila mempunyai susunan yang pyramidal. Artinya, dari satu sisi, sila pertama bersifat universal, mempunyai jangkauan paling luas dan menjadi dasar bagi sila-sila yang lain, sedangkan sila terakhir merupakan pengkhususan yang sempit. Akan tetapi pada sisi yang lain, masing-masing sila pun merupakan bagian integral dari totalitas yang tidak dapat berdiri sendiri dan terlepas dari yang lain. Dengan demikian dalam masing-masing sila pun tercermin sila-sila yang lain[8].
Kedudukan sila ke-lima ini adalah sebagai eksekusi akhir, dinama terwujudnya suatu keadilan sosial. Semua eleman rakyat Indonesia merasakan suasana atau keadaan negara yang adil. Adil dalam arti kedamaian dan keamanan di negeri terjamin oleh karenanya (adil dari pemimpin dan rakyatnya secara bersama-sama), semua elemen tanpa terkecuali dapat hidup nyaman dan tentram dengan aktivitas-aktivitas sosialnya, kepentingan bersama lebih diutamakan daripada kepentingan individual sehingga budaya tolong-menolong, tenggang rasa, toleransi benar-benar hidup di dalamnya, baik pemimpin terhadap rakyat ataupun sebaliknya, baik berbeda agama, ras, suku, etnis, serta budaya daerah, baik berbeda pangkat, jabatan serta kedudukan, baik berbeda pekerjaan, pengeluaran, serta pendapatan, baik berbeda kepunyaan harta benda, sandang, pangan serta papan, baik berbeda umur, sikap, serta prinsip hidup, semua menjurus pada hubungan baik dan harmonis. Semua saling menghargai, menghormati, memperhatikan, kepekaan sosial terjalin secara menyeluruh tanpa terkecuali.
Patutlah dan pantaslah, Pancasila menjadi pondasi fundamental, ideologi negara, sebagai pijakan keberagaman sosial Indonesia, bila membaca, mendalami dan menafsirkan bersama. Pokok-pokok pemikiran di dalamnya mengandung nilai-nilai sosio-kritis, yang jika mampu benar-benar diaplikasikan, akan terbentuk garis-garis lurus dan orientatif bagi pengembangan dan kemajuan bangsa dan negara.

Garis Besar Haluan Gerakan Sosial
Menurut Juwono Sudarsono, gerakan sosial secara teoritis merupakan sebuah gerakan yang lahir dari dan atas prakarsa masyarakat dalam usaha menuntut perubahan dalam institusi, kebijakan atau struktur pemerintah. Di sini terlihat tuntutan perubahan itu biasanya karena kebijakan pemerintah tidak sesuai lagi dengan konteks masyarakat yang ada atau kebijakan itu bertentangan dengan kehendak sebagian rakyat. Karena gerakan sosial lahir  dari masyarakat maka kekurangan apapun ditubuh pemerintah menjadi sorotannya. Dari literatur definisi tentang gerakan sosial, adapula yang mengartikan gerakan sosial sebagai sebuah gerakan  yang  anti pemerintah  dan  juga  pro  pemerintah.  Ini  berarti tidak selalu gerakan sosial itu muncul dari masyarakat tapi bisa juga hasil rekayasa para pejabat pemerintah atau penguasa[9].
Artinya ada dua garis besar haluan disini mengenai gerakan sosial yang saya interpretasikan dari bahasan Juwono Sudarsono. Yang satu adalah mereka yang benar-benar memprakarsai masyarakat dengan usaha-usahanya menuntut perubahan, terindikasi oleh kebijakan pemerintahan yang tidak sesuai bahkan melenceng dengan konteks masyarakat, sehingga (kebijakan pemerintah) bertentangan dengan kehendak sebagian rakyat. Dan yang satu lagi adalah mereka yang merupakan hasil rekayasa para pejabat pemerintah atau penguasa, dibuat dengan bentuk gerakan dukungan (pro) atau perlawanan (kontra) terhadap pemerintahan, namun pada titik akhirnya dimaksudkan agar pejabat pemerintah atau penguasa dapat kokoh, tidak goyah, dan aman secara politis. Dari dua garis besar haluan diatas, nampak sudah gerakan sosial selama ini telah terbagi atas dua kelompok, pertama adalah mereka yang muncul dari masyarakat secara murni yang saya kategorikan sebagai garis lurus, dan satunya adalah mereka yang muncul karena hasil rekayasa pemerintahan yang saya kategorikan sebagai garis melenceng.

Garis Lurus Orientasi Gerakan Sosial Baru
Gerakan Sosial Baru (GSB) atau New Social Movement merupakan fenomena gerakan sosial yang berkembang sejak pertengahan tahun 1960-an. GSB sebagai perkembangan dari konsep gerakan sosial hadir untuk mengoreksi prinsip-prinsip, strategi, aksi ataupun pilihan ideologis yang digunakan Gerakan Sosial Lama (GSL) atau Old Social Movement. Jika GSL dicirikan dengan tujuan ekonomis-material sebagaimana tercermin dari gerakan kaum buruh, maka GSB menghindari pilihan ini dan menetapkan tujuan-tujuan non-ekonomis material. GSB lebih menekankan pada perubahan-perubahan gaya hidup dan kebudayaan daripada mendorong perubahan spesifik dalam kebijakan publik atau perubahan ekonomi. Meskipun demikian, keduanya pada hakikatnya memiliki tujuan yang sama, yakni keinginan untuk mewujudkan perubahan sosial[10].
Semua gerakan sosial baik lama maupun baru menekankan adanya perubahan sosial dalam tatanan masyarakat. Adapun perbedaan antara baru dan lama menurut Najmuddin, adalah ciri khas tujuan satu sama lain. Yang lama lebih mengarah pada tujuan ekonomis-material, sedang yang baru justru menghindarinya, dan lebih mengarah pada penekanan terhadap perubahan-perubahan gaya hidup dan kebudayaan. Yang lama hadir karena alasan ekonomis-material yang hilang, habis dan raib, karena dihadapkan pada zaman kolonialis dan imperialis, dimana secara struktural dan kultural, bangsa pada saat itu telah dieksploitasi besar-besaran, dan dikeruk hasil buminya. Sehingga mempengaruhi ekonomis-material bangsa saat itu baik secara kultural maupun struktural. Pasca kemerdekaan, lambat laun bangsa mulai menemukan keadaan dan tatanan sosial yang cukup baik, bangsa telah dipimpin bangsanya sendiri, dan telah terbentuk negara berdaulat. Secara struktural bangsa telah mendapati kembali jati dirinya. Namun dalam lingkup ini, tetap masih dihiasi konflik-konflik, sengketa-sengketa, perlawanan-perlawanan dan pemberontakan-pemberontakan, yang timbul karena perubahan tatanan sosial masyarakat, termasuk perubahan gaya hidup dan kebudayaan sosial masyarakat. Gerakan Sosial Baru hadir di tengah prosesi tersebut, dimana mulai bermunculannya gaya hidup dan budaya kapitalistik yang sarat akan penindasan dan bentuk eksploitasi baru di dalam tubuh bangsa dan negara saat itu, dan sekarang, gaya hidup serta budaya hedonis yang juga sarat akan eksploitasi, penghancuran dan pengkikis moral etika berbangsa dan bernegara. Dibutuhkan suatu gerakan sosial dengan haluan garis lurus yang juga memiliki orientasi garis lurus untuk mencegah dan menanggulangi gaya hidup dan budaya yang melenceng tersebut.
Orientasi gerakan sosial menurut Najamuddin adalah terciptanya tatanan yang lebih berkeadilan sosial melalui perubahan sosial dari yang semula sarat dengan eksploitasi menuju keseimbangan yang relatif bisa memuaskan semua komponen[11]. Inilah bagi saya merupakan garis lurus orientasi gerakan sosial baru. Sebagaimana sila terakhir Pancasila berbunyi,”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Dimana keadilan secara universal hadir bagi bangsa, dalam hal ini adalah masyarakat Indonesia secara umum. Segala macam bentuk eksploitasi yang menjadi ciri khas gaya hidup dan budaya kapitalis dan hedonis, sedikit demi sedikit harus digerus dan dilumpuhkan karena tidak sesuai dengan pengamalan dan penghayatan terhadap Pancasila, walaupun dalam prosesnya nanti akan sulit dilakukan.
Paling tidak dari tulisan ini, kita sudah menyadari bersama pentingnya garis lurus orientasi gerakan sosial baru. Karena kita hanya menginginkan perubahan positif mengarah pada cita-cita mulia yang selama ini diperjuangkan pendahulu-pendahulu kita, yakni mewujudkan masyarakat agamis, beradab, makmur, adil dan sejahtera.
Selama ini perlu diketahui ada berbagai macam gerakan sosial dalam bentuk LSM dan Ormas bahkan Parpol yang kemudian menjamur di negeri ini. Dan mereka mempunyai tujuan, garis haluan dan orientasi masing-masing, yang tidak diketahui secara jelas dan pasti, terkecuali jika masuk ke dalamnya. Dari situlah mesti ditimbulkan dan dimunculkan sikap kritis baik dalam membaca isu strategis, mengolah isu menjadi wacana, menentukan arah, visi, misi ke depan guna menunjang perubahan positif, serta konsisten berkelanjutan dalam mempertahankan ide gagasan positif yang dianut dan diperjuangkan. Billahi Fi Sabilil Haq, Fastabiqul Khoirot… Wa Allahu ‘Alamu Bis Shawwab…




[1]Artikel “Bung Karno: Revolusi Indonesia Menuju Sosialisme!” oleh Rudi Hartono; Pimred Berdikari Online, thn 2013.


[2]Masdar Farid Mas’udi dkk, Islam Nusantara; Dari Ushul Fiqih hingga Paham Kebangsaan, Op.cit., (Greg Barton, 2003) hal. 313.
[3]Ibid, Op.cit., (Riwayat Bukhari – Muslim; juga: Tafsir Khazin, Juz V, hal. 444).
[4]Masdar Farid Mas’udi dkk, Islam Nusantara; Dari Ushul Fiqih hingga Paham Kebangsaan, hal. 288.
[5] Ibid.
[6]Ibid, hal. 314.
[7]Ibid, hal. 288.
[8]M. Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam, Op.cit (Notonagoro, 1984) hal. 17-18.
[9]Juwono Sudarsono (ed), Pembangunan Politik Dan Perubahan Politik, hal. 24-25.
[10]Artikel “Gerakan Sosial Baru (New Social Movement)” oleh Najamuddin Khairurrijal, Penulis di www.haryoprasodjo.com, thn 2014.
[11]Ibid.




Daftar Pustaka :
Karim, M. Abdul. Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: Surya Raya bekerja sama dengan Sunan Kalijaga Press, 2004.
Mas’udi dkk, Masdar Farid. Islam Nusantara; dari Ushul Fiqih hingga Paham Kebangsaan. Bandung: Mizan Media Utama, 2015.
Sudarsono, Juwono. Pembangunan Politik Dan Perubahan Politik. Jakarta: Gramedia, 1976.

Artikel “Bung Karno: Revolusi Indonesia Menuju Sosialisme!” oleh Rudi Hartono; Pimred Berdikari Online, tahun 2013.

Artikel “Gerakan Sosial Baru (New Social Movement)” oleh Najamuddin Khairurrijal, Penulis di www.haryoprasodjo.com, tahun 2014.



1 komentar:

sangpemimpiulung mengatakan...

ini media untuk mengetahui istilah-istilah populer

Posting Komentar