Kisah Uang
Seribu dan Seratus Ribu
Tersebutlah
dalam sebuah dompet dua carik uang kertas. Yang satu bernominal seratus ribu rupiah
dan yang satunya bernominal seribu rupiah. Sebelumnya mereka terpisah karena
diambil dari tempat yang berbeda. Keduanya juga punya ciri-ciri yang berbeda.
Uang seratus ribu tampangnya begitu apik, bersih, ganteng, berseragam necis,
disukai banyak orang dan tentunya oleh para wanita, ya ibarat kata
seperti playboy itulah. Sedang uang seribu dengan gayanya yang jadul,
lusuh, berseragam ala kadarnya, seperti seorang semi fakir miskin. Keduanya
sama-sama dibawa dalam dompet, oleh seseorang yang saat itu akan berpergian ke
suatu tempat. Jadilah jumlah nominal uangnya tersebut menjadi seratus satu ribu
rupiah. Dalam keadaan berpergian tersebut terjadilah percakapan antar keduanya.
Mereka bertanya satu sama lain dengan percakapan kira-kira seperti ini:
Uang
seratus ribu: “Hei seribu! Ngapain kamu disini? Bikin ganggu pemandangan aja...”
Uang
seribu: “Saya cuman numpang disini, yah saya mengakui kalau saya kucel, kayak
nggk pernah mandi... tapi kamu tau apa pekerjaan saya?”
Uang
seratus ribu: “Mana saya tau, kamu ya kamu, saya ya saya... bukan urusan saya!
Memang apa pekerjaan kamu?”
Uang
seribu: “Dengarkan... Saya itu setiap hari kerjanya memberi makan fakir miskin,
anak yatim, pokoknya saya dekat dengan kaum dhuafa, karena banyak orang yang
memberikan saya untuk penghidupan mereka para kaum dhuafa. Saya dekat dengan
masjid bahkan muallaqun bil masajid, karena ada saja orang yang menyumbangkan
saya ke dalam kotak amal sehingga saya menjadi bagian penghuni masjid, apalagi
kalau sudah hari jum’at. Walaupun saya lecek, kucel dan terkesan seperti belum
mandi, tetapi saya bersyukur karena saya berada diantara orang yang bertaqwa. Saya
juga bersyukur karena saya tidak pernah dipakai untuk hal keburukan. Tidak
seperti kamu, kamu selalu bersama orang yang jauh dari kebaikan.
Lihat
saja dirimu, kamu selalu bersama orang-orang yang nongkrong nggk jelas di Mall,
mereka menghambur-hamburkan kamu untuk membeli sesuatu yang juga tidak jelas
arah maksudnya. Kamu juga selalu bersama para penyelundup alias tukang korup.
Lihat saja! banyak pemerintah, pejabat, konglomerat yang menyembunyikan kamu di
kantongnya. Kamu juga senantiasa diselipkan dalam pakaian dalam wanita, saat
seorang hidung belang telah puas melampiaskan nafsu birahinya... Naudzubillahi
min dzalik.
Bandingkan
dengan saya, saya tidak pernah disentuh sedikitpun oleh orang-orang seperti
itu. Mereka mana mau menyentuh saya yang kumal, dan kucel ini. Saya juga tidak
pernah merasakan halusnya kulit wanita, karena saya tidak pernah diselipkan di
dalamnya, apalagi melihat tubuh wanita yang mempesona itu. Saya memang tidak
pernah merasakan kemewahan, tapi saya beruntung karena saya masih suci dari
tangan-tangan tak bertanggung jawab, yang penuh maksiat itu. Sekali lagi saya
memang kucel, kumal, tapi dalam diri saya terkandung satu rasa kepuasan
tersendiri tanpa berlebih-lebihan.
Saya
akui kamu memang istimewa, rupamu yang ganteng, penampilan yang rapi dan apik.
Tapi lihat dalam dirimu, kamu sudah tidak suci lagi. Kamu ternodai oleh
tangan-tangan usil mereka, dan yang jelas mereka tidak akan puas, kamu juga
tidak memiliki kepuasan karena berlebih-lebihan. Secara tidak langsung kamu
telah terhinakan. Perhatikan! Kamu dihambur-hamburkan begitu saja, tanpa tau
berapa banyak dirimu. Kamu diselipkan dalam pakaian dalam wanita begitu saja,
tanpa pernah mereka pikir kalau kamu itu apik dan bersih tampangnya. Kamu
disembunyikan dalam kantong-kantong koruptor yang merupakan orang-orang
terhina.”
Uang
seratus ribu mati kutu, tidak bisa membalas apa-apa. Ia seakan-akan kehilangan
seluruh tubuhnya begitu mendengar kata-kata uang seribu yang menggelegar dan
menggentarkan dirinya. Ia seakan kecil di hadapan uang seribu yang kumal, kucel
dan apa adanya itu. Dia malu dan hanya bisa diam.
Dari
kisah di atas, kita dapat menilik begitu tegasnya kata-kata uang seribu. Uang
seribu dengan bangga menyatakan dirinya yang sebenarnya, apa adanya dan berani
membeberkan kelakuan uang seratus ribu yang menurutnya tidaklah mencerminkan
keistimewaannya. Oleh karenanya jadilah uang seribu dalam hal ini. Mengapa
tidak jadi seratus ribu yang lebih besar jumlah nominalnya? Jawabannya kita
baca bersama! Kebanyakan orang meremehkan hal yang kecil, sehingga hal yang
besar menjadi tumpuan satu-satunya. Padahal pernyataan seperti ini kurang benar,
karena hal besar tak akan terjadi tanpa hal kecil. Dimana-mana kita dengar
pepatah, “sedikit-dikit lama-lama menjadi bukit”. Ini membuktikan bahwa hal
sekecil apapun janganlah dijadikan pengesampingan. Kisah uang seribu dan uang
seratus ribu tadi sudah membuktikan dengan gamblang bahwa kecil tidak berarti
kerdil, kecil dapat membuat yang besar menjadi lebih kecil.
Terkadang
kita tidak memperhatikan bahwa ada setitik putih dalam sebuah papan tulis hitam
misalnya. Itu karena kita hanya melihat kalau papan tulis itu berwarna hitam
tanpa melihat ada bekas kapur di dalamnya. Begitu halnya juga dengan uang
seribu, kita terkadang membiarkan begitu saja uang seribu yang sudah lusuh
tergeletak di jalan. Padahal uang seribu sangat berarti di zaman yang sudah
serba bayar ini. Apa-apa bayar, WC umum bayar, penitipan sandal bayar, mau
masuk ke terminal bayar, masuk ke tempat rekreasi yang tidak bagus-bagus amat
bahkan tidak layak dijadikan tempat rekreasi, bayar juga!. Kalau seperti ini (mungkin)
nanti juga lama-lama masuk jalan raya, ikut bayar! layaknya WC umum, penitipan
sandal, masuk terminal, masuk ke tempat
rekreasi tadi. Waduh... jadi
bingung ini buat pengeluaran. Kepriben
jadinya dong...
Anda
juga harus ingat kisah seekor rayap. Dia itu kecil, tapi dapat meruntuhkan tembok
yang dilapisi oleh batu bata. Apalagi hanya sebatas kapal yang terbuat dari
bahan kayu. Lagi-lagi ini terjadi lantaran peremehan. Yakni peremehan awak
kapal terhadap seekor rayap. Saat persiapan keberangkatan, ada salah seorang
awak kapal yang menemukan seekor rayap dalam ruas kapal tersebut. Namun ia membiarkan
hidup rayap tersebut tanpa berpikir apa yang akan terjadi ke depannya nanti. Kemudian
di tengah pelayaran mereka (para awak kapal) kewalahan karena banyak dari ruas
kapalnya yang bocor, dan kemasukan air. Tanpa waktu yang lama, akhirnya kapal
tersebut tenggelam dengan mudahnya lantaran tidak kuat menahan ombak dan badai
laut. Ya, lagi-lagi ini karena meremehkan sesuatu yang kecil.
Bagi kita yang merasa kecil, baik kecil
hatinya, kecil badannya, kecil penghasilannya, kecil karena diremehkan dan
kecil-kecil lainnya, maka ingat cerita uang seribu dan seratus ribu tadi. Kecil
bukan berarti kerdil dan tertinggal. Kita dapat membesarkan diri, seandainya
punya kemauan yang keras, pendekatan diri kepada Allah SWT dan usaha yang gigih
terus-menerus. Jadilah kecil yang berjiwa besar, yang kecil-kecil cabe rawit.
Bukan menjadi besar yang malah tidak dimanfaatkan dengan baik
kebesarannya, justru membuat hal buruk dan memperparahnya menjadi semakin tidak
terkontrol.
Ya, itu saja mungkin pesan saya kepada
para pembaca sekalian. Anggap saja ini adalah sebuah petuah seseorang yang
dekat dengan kita. Jangan pernah sekali-kali berkeinginan menjadi uang seratus
ribu yang apik, bersih, rapi, dan ganteng kalau seandainya jiwa kita tidak
sesuai dengan kenyataan di luarnya. Jadilah uang seribu yang kecil, tetapi
mempunyai sikap, kelakuan dan karakter yang jelas mengarah pada sisi positif, walaupun
dari luar nampak kumal, kucel, dan apa adanya. Itupun kita tau kalau uang
seribu itu banyak dipegang oleh kalangan dhuafa, sehingga tampangnya pun sesuai
dengan pemegangnya. Jadi sudah jelas, jangan remehkan hal kecil! jangan
remehkan uang seribu yang kumal, kucel, dan apa adanya.
2 komentar:
follbacknya sukses bro
mantap gan,,,
Posting Komentar