Tidak
Hanya Perempuan, tetapi Semuanya
April
ini, tepatnya tanggal 21 April, perempuan menjadi sorotan
utama. RA. Kartini sebagai tambuk pemrakarsa emansipasi wanita Indonesia, akan
dikenang selalu. Begitupun RA. Sartika sang perintis selanjutnya. RA. Sartika
mengupayakan benar-benar emansipasi wanita sebagai pengestafetan kemajuan kaum
hawa. Tetapi kenapa harus perempuan, punya
emansipasi? Dan tidak untuk lelaki. Padahal, kalau kita lihat di lapangan,
perbudakan demi perbudakan zaman dahulu bukan di peruntukan bagi kaum hawa
saja, tetapi juga para lelaki.
Soal per-tidak
sama-an derajat, hak, dan kedudukan, kekerasan terhadap perempuan, penindasan
baik secara fisik maupun psikis terhadap perempuan oleh para lelaki, adalah latar
belakang pemicu pergerakan emansipasi wanita, sangat dibenarkan sekali, karena
pada waktu itu lelaki memang lebih berkuasa ketimbang perempuan. Masalahnya
justru terletak pada keadaan moral kita baik sekarang dan dahulu, khususnya di
negeri ini. Kalau soal mendominasi, lelaki memang tercatat di hampir semua cakupan
bidang. Namun, parameter sekarang menyayangkan akan kemerosotan bangsa ini, sehingga ketidak majuan negeri ini perlu diperhatikan.
Jadi, sebenarnya sama saja ihwalnya. Bahwa tidak hanya perempuan, mengalami
dilema perbudakan, laki-laki pun juga mengalaminya, di negeri ini. Tak hanya perempuan, punya
emansipasi, lelaki pun harus turut andil beremansipasi. Hakikatnya semuanya,
laki-laki dan perempuan, bersama-sama bahu-membahu menuju kemajuan.
Indonesia
dari dulu sampai sekarang, selalu tertindas. Penjajahan Belanda selama 350
tahun, disusul oleh Jepang selama 3,5 tahun, hingga mengalami Freedom of
Country (kemerdekaan dalam negeri), tetap tak membuat negeri ini
terhindar dari era perbudakan. Orang Belanda banyak menyebut orang Indonesia
sebagai inlander (pribumi) tiada
berarti, hanya rodi yang pantas bagi inlander.
Memasuki, penjajahan jepang pun tak jauh berbeda, negeri ini tak ubahnya
diperlakukan seperti budak bertahun-tahun lamanya, para romusha demikian orang jepang menyebut bangsa kita.
Banyak
pihak sudah mengupayakan negeri ini, terlajur
dalam kedinamisan positif. Upaya pencanangan sistem-sistem pemerintahan secara
gencar telah banyak diberlakukan. Namun, selalu berbuah pertikaian diakhirnya.
Unjuk rasa anti pemerintahan banyak dilakukan kelompok-kelompok masyarakat
dalam satuan tani, remaja mahasiswa, buruh-buruh pabrik, tak berefek sedikitpun
terhadap terjalinnya pemerintahan idealis. Justru membuat
kerusuhan, berujung pada pertikaian antar instansi pemerintah dan rakyat. Rakyat
menjadi bulanan para instansi pemerintah yang terdiri dari polisi dan bagian
keamanan lainnya, karena diduga ingin memberontak. Ini semua adalah fenomena
negeri kita sampai saat ini. Selalu ada reaksi kontroversial, dimana kebenaran
entah berada di pihak mana, lantaran semuanya mengaku berdiri pada kebenaran dan
tak bisa diganggu gugat. Sangat disayangkan sekali, demi menuju Indonesia
makmur, Kita malah seperti saling berbeda tujuan. Kita seperti sedang
menghadapi musuh tak jelas, lawan tak jelas, sehingga tak berujung pada
akhirnya, terus-menerus menjalar, merambat bahkan turun-temurun. Bagaimana
kemudian berpikir memajukan negeri ini, kalau masih terus memikirkan diri
sendiri, sok benar, sok memikirkan orang lain dalam bualan
belaka.
Perempuan dengan keadaan negeri yang semakin parah. Membuat mereka menjadi
langganan, bulanan bagi yang lain (lelaki). Karena pola berpikir semua orang
kala itu tidak lepas dari praduga, bahwa perempuan hanya akan melajurkan pada
permusuhan dan kehancuran. Hingga akhirnya mereka menerornya, menyiksanya, mengintimidasinya
dan menyingkirkannya. Perempuan akhirnya merasa dipojokkan, dikhianati,
diberlakukan tak wajar. Demikian masa lalu perempuan yang kelam dan perih.
Zaman berubah, dan perempuan mulai mengajukan persamaan. Yang benar saja! Wong
dari dulu kita sama kok. Lalu apanya yang mesti dipersamakan kembali.
Inilah kemudian menimbulkan emansipasi perempuan lebih lanjut. Emansipasi yang
tidak diketahui dengan jelas.
Hakikatnya kita memang bersama-bersama dalam menegakkan kebenaran. Jadi
semua harus turut merasakan penderitaan yang menimpa bangsa ini. Senang bangsa
ini, maka kita rasakan harus bersama, derita negara ini, juga harus kita
rasakan bersama. Itu yang kemudian disebut tenggang rasa, kebersamaan,
gotong-royong, dan toleransi. Namun apa daya, banyak dari kita sebagai rakyat tidaklah
mengelukan negaranya. Justru acuh-tak-acuh. Banyak pemikir, namun miskin
realisasi dan implementasi. Banyak konglomerat, justru memikirkan diri sendiri
dan menumpuk (menimbun) kekayaan. Banyak perkumpulan organisasi, tetapi tidak
memungsikan dirinya secara maksimal. Banyak politikus, menyibukkan pada jabatan
dan kekuasaan. Banyak... banyak... banyak lagi.
Saya sadar, saya tidaklah selalu bergelimang kebenaran. Saya hanya seorang
yang berdiam dibalik keadaan negeri ini. Tapi saya juga turut merasakan
bagaimana kepedihan negeri ini. Saya jelas masih cinta dengan negeri ini. Maka
izinkan saya mendedikasikan tulisan ini kepada khalayak ramai. Supaya kesadaran
walau barang sedikit, bisa muncul. Mohon maaf, kalau ini terkesan memojokkan.
Tapi ini kata hati saya. Mari kita beremansipasi diri... tidak hanya perempuan
saja... tetapi semuanya... supaya kita maju... wa allahu alamu bis shawab...
0 komentar:
Posting Komentar