Selamatkan Indonesia dengan Semangat Kebersamaan Non-Kapital
Para
pemimpin Indonesia, dari tahun ke tahun tidaklah menjawab dengan serius, real,
ideal, dan bijak, begitu dihadapkan kepada tanda-tanda Tanya besar tentang arti sebuah kebersamaan secara
langsung. Padahal secara langsung, orang yang tidak berpendidikan tinggipun
mengetahui arti kebersamaan, jika berangkat dari praktek, aplikasi sehari-hari.
Karena mereka lebih merasakan persahabatan, pertemanan, komunikasi sosial tanpa
batasan usia, status, materi, vinansial, fisik, dan rohani, kebanding pemimpinnya
yang berpendidikan tinggi, dan serba memilih-milih teman, sahabat, dengan
batasan tertentu.
Menurut
Prof. Dr. Abdulrahman Abdulkadir Kurdi, manusia adalah sama, manusia mempunyai
hak untuk diperlakukan secara sama, dan manusia diciptakan sederajat (Kurdi,
2000: 81). Ketika hak manusia tidak diperlakukan sama oleh sesamanya (manusia),
maka akan ada kekecewaan dan kekesalan, yang dapat berbuah tindakan-tindakan di
luar batas, bahkan di luar norma dan nilai. Hak dari rakyat adalah mendapatkan
perlindungan hukum dari pemerintah jika terbukti tidak bersalah. Akan tetapi
kasus-kasus penyiksaan TKI kita tak dapat dihentikan hingga sekarang. Masih
sering kita dengar kasus-kasus penyiksaan TKI sampai meninggalnya (akhir
hayatnya), dan pemerintah diam saja walaupun miris melihatnya. Kabar itu bukan
malah membuat pemerintah gencar memperhatikan rakyat-rakyat kecil yang
mempunyai perekonomian minim, akan tetapi menambah tingkat kemakmuran dirinya
dengan banyak membiarkan TKI semakin berkeliaran di luar negeri. Karena progress
tersebut tentunya akan menguntungkan oknum pengirim TKI, dan keuntungan yang
dihasilkan akan menjadi pajak Negara. Kemungkinan besar pajak tersebut akan
dimakan sendiri tanpa memperdulikan pembangunan-pembangunan Negara. Lihat saja,
mana ada jalan di Indonesia yang mulus? Hanya sedikit. Mana ada gedung-gedung
sekolah tidak bocor? Hanya sedikit. Mana ada gedung-gedung penyewaan yang dapat
disewakan dengan murah? Sedikit. Mana ada toilet yang gratis? Sedikit. Semua serba
diuangkan, hanya tinggal bernafas yang tidak diuangkan. Padahal kita hidup di
tengah Negara yang memiliki pemerintahan, manajemen, administrasi yang
mengurusi sirkulasi kebijakan di dalamnya.
Peran
pemerintahan orde lama, orde baru, sampai kemudian reformasi, tidak sedikit
kebijakan yang kemudian membuat kekecewaan rakyat. Padahal pemerintah mestinya
berlaku adil, bukan malah mengadili rakyat yang tidak bersalah. Tuhan yang Maha
Adil, Allah SWT sendiri yang langsung memerintahkan manusia untuk adil,
memerintahkan umat manusia supaya bertindak adil terhadap setiap individu
sebagai perorangan yang terlibat dengan
sesama dalam praktek bersama yang dipersiapkan untuk memajukan kepentingan umum
(Kurdi, 2000: 91).
Dalam
pemerintahan orde lama, kita masih ingat tentang banyak bertebaran
intrik-intrik PKI yang berusaha melanggengkan kekuasaannya dengan menyebarkan
paham komunis secara perlahan. Di lain sisi, soekarno sebagai presiden pada
waktu justru melegitimasi paham tersebut untuk kemudian disandingkan dengan
paham nasional dan agamis, menjadi Nasakom (Nasionalis, Agamis, dan Komunis)
dengan alasan kemajemukan paham di Indonesia.
Bukan
malah keadilan terrealisasikan, perebutan kekuasaan diperlihatkan elit politik
pada saat itu, bahkan juga oleh elit militer. Parahnya lagi, di akhir pemerintahan
orde lama, dihiasi dengan kenaikan bahan pokok, sehingga rakyat sengsara dan
menderita. Pada akhirnya suatu pemerintahan yang diakhiri dengan husnul
khotimah (akhir yang baik),
justru diakhiri dengan su’ul khotimah (akhir yang buruk), dikarenakan perebutan
kekuasaan pada saat itu. Semua itu tergambarkan di dalam film “Soe Hok Gie”.
Berpindah
ke orde baru, Soeharto dan orde baru memperoleh kekuasaan pada tahun 1965
melalui sebuah coup d’etat. Soeharto memerintah Indonesia sebagai
seorang pemimpin yang benevolent dan juga otoriter yang meyakini bahwa
stabilitas politik dan pembangunan ekonomi dapat mempertahankan kekuasaannya
(Asy’ari, 2003: 10) . Pada akhirnya keyakinan itu kemudian tidaklah dijadikan
sebagai tonggak keadilan, akan tetapi
menjadi tonggak durjana, yaitu keserakahan, sehingga menambah daftar
masalah-masalah baru.
Pada
akhir pemerintahan orde baru selama 32 tahun, nilai rupiah anjlok sampai kurang
lebih 15.000
rupiah, hutang Negara juga mencapai 60 milyar (Wintolo bersama Karseno dkk
(Ed.), 2003: 18) bermunculan konflik etnis di Kalimantan Barat (1996-1997,
dilanjutkan sampai 1999), Kalimantan Tengah (2001), Timor Timur (1999), Ambon
(1999), Maluku Utara (2000), Poso (2001) (Asya’ri, 2003: 15).
Akhirnya
naiklah BJ. Habibie sebagai pemegang kendali negara selanjutnya, dan
berakhirlah orde lama, kemudian beralih ke era reformasi. Dari mulai
pemerintahannya perekonomian negeri perlahan kembali stabil, nilai rupiah
kembali ke zona ekonomi normal, bahkan mencapai posisi +6000
rupiah per dollar, dibanding pada masa pemerintahan Soeharto yang menurun tajam
pada posisi +15.000
rupiah per dollar. Patut kita berikan jempol empat, karena ini merupakan
prestasi perekonomian tertinggi diantara masa pemerintahan lainnya. Namun
sebaik-baik pemimpin ada saja kekurangannya, BJ. Habibie tidak dapat
menyelesaikan permasalahan etnis (turunan dari Soeharto) dengan baik, puncaknya
ia kemudian diturunkan dari bangku presiden lantaran membiarkan provinsi Timor
timur lepas dari wilayah kesatuan RI. Ya, alasan yang kontroversial dan
sangat disayangkan bagi sebagian pihak pada waktu itu. Padahal ia telah banyak
membuat kemajuan negeri ini, walaupun dengan waktu yang relatif sebentar.
Tetapi dialah pemimpin terbaik, dibanding yang lain menurut hemat penulis.
Berlanjut
kemudian, naiklah Gus Dur
sebagai pemangku kepresidenan RI. Dalam masa pemerintahannya, ia banyak
mengunjungi negeri asing dengan alasan menjaga integritas wilayah RI. Ya,
alasan yang bagi penulis masih mempunyai arti lain. Ia dikenal sebagai guru
bangsa yang menjunjung tinggi nilai pluralisme demokrasi. Ia biasa berdiskusi
dengan ragam orang, seperti warna-warni dalam pelangi. Tetapi demikian, ia
merupakan presiden dengan pemikiran yang tidak dapat dipahami dengan jelas dan
terkesan kontroversial.
Dalam
hal ini, kita tahu bahwa dialah yang menginginkan pembubaran Departemen Sosial
dan Penerangan, lantaran dianggap kinerjanya tidak sesuai dengan UUD yang
berlaku. Mereka yang seharusnya mengayomi rakyat dalam ketentraman, malah
korupsi gede-gedean, anggap Gus Dur waktu itu. Dia juga yang
menginginkan adanya pencabutan Tap MPR No. 25 MPRS 1966, dengan alasan
melindungi semuanya dan ketentuan Tap MPR tersebut bertentangan dengan
undang-undang.
Hal
ini yang menyebabkan pendapat sebagian orang yang menganggap bahwa Gus Dur terkesan memberikan pembelaan kepada
PKI, yang ditakuti kebangkitannya kembali. Akhirnya era Gus Dur lengser secara paksa, dengan pengangkatan
Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden RI selanjutnya, yang dinobatkan langsung setelah digelarnya sidang istimewa
MPR RI tanpa kehadiran Gus Dur
sebagai presiden (waktu itu Megawati masih menjabat sebagai Wakil presiden RI, dan menggantikan Gus Dur).
Megawati
merupakan seorang presiden perempuan pertama RI. Perempuan bukan tidak layak
memimpin. Dalam islam, perempuan boleh dan berhak memimpin hanya di kaumnya
saja alias di kalangan perempuan saja, tak lebih. Apa jadinya jika seorang
perempuan memimpin sebuah negeri, maka akan terjadi sebuah dilematisasi. Karena
perempuan punya satu kecenderungan untuk selalu bersama dengan anaknya, maka
otomatis perempuan punya andil dalam membesarkan anaknya, termasuk
memperhatikannya setiap hari, memberikan kasih sayang yang berarti,
mengutamakan kepentingan rumah tangga, bukan mementingkan kepentingan karier
semata. Perempuan juga punya kelemahan dalam memandang orang lain. Banyak
perempuan yang tidak tegas menangani masalah sebuah organisasi umum yang di dalamnya
tidak hanya perempuan saja, tetapi juga lelaki.
Jangankan
masalah organisasi, dalam hal percintaan saja perempuan banyak yang ragu dalam
mengambil langkah, sehingga banyak diantara mereka yang tergoda begitu saja
lantaran diiming-imingi kebahagian dan kesenangan hidup yang sementara oleh
para lelaki (tidak semuanya). Dari pantauan ini, lalu kita kaitkan dalam
organisasi umum! Apa yang terjadi seandainya seorang perempuan memegang
organisasi umum atau organisasi masyarakat? Bukan malah menghasilkan sebuah
kepemimpinan karismatik, melainkan suatu kepemimpinan boneka. Perempuan banyak
yang diperalat oleh lelaki dalam mengambil keuntungan sendiri. Penulis tidak
bermaksud untuk mengejek perempuan dalam hal ini. Hanya saja perlu ada
peringatan bahwa perempuan adalah mahkota bagi lelaki, jadi jangan mau
diperalat oleh lelaki. Kelemah-lembutan perempuan terkadang dimanfaatkan oleh
banyak lelaki untuk sebatas pemuas nafsu belaka. Dan ini merupakan bentuk
pelecehan bagi perempuan.
Jadi,
untuk menghindari hal semacam ini, lebih baik perempuan berlindung saja kepada
lelaki yang baik, punya andil dalam keluarga, pengertian, dan penyayang.
Perempuan lebih baik tidak usah ikut campur dalam hal kepemimpinan umum, apapun
kepemimpinan umum itu. Dari itu kita kembali ke pokok permasalahan kita tentang
penantian seorang pemimpin. Bagaimana kepemimpinan seorang Megawati? Begitulah
adanya, tanpa perlu diruntut kembali. Ada presiden di balik presiden,
istilahnya seperti itu. Dengan kata lain, ada sebuah pemerintahan di balik
layar. Ini yang membuat ketidak-tegasan Megawati dalam memerintah. Seperti
dalam kasus pulau Sipadan dan Ligitan. Pengakuan Malaysia terhadap kedua pulau
tersebut, tidak membuahkan respon yang berarti. Malaysia akhirnya merebut kedua
pulau tersebut.
Setelah
era Megawati, berlanjutlah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono atau lebih
familiar dipanggil dengan SBY. SBY merupakan salah satu sosok pemimpin terbaik
menurut penulis selain BJ. Habibie, dari era kepemimpinan lainnya. Dalam
pemerintahannya-lah, KPK dibentuk, sehingga mengurangi jumlah korupsi di
Indonesia, yang juga menguak sindikat-sindikat korupsi di Indonesia, walaupun
sekarang makin berkurang personilnya. Selain itu juga, pada masa
pemerintahannya terdapat Densus 88 yang bertugas menangani terorisme yang
sekarang mulai berkurang pula keberadaannya, walaupun harus mengeluh dada,
karena banyak sekali korban penyiksaan tak berdosa lantaran dituduh
teroris.
Sebagai
pemimpin yang punya pendidikan kemiliteran, ia otomatis punya militansi yang
tinggi dalam menangani masalah internal dan eksternal negeri ini, apalagi
masalah pertahanan dan keamanan, sebagaimana penanganan gerakan saparatis,
teroris, dan anarkis lainnya di dalam negeri. Adapun di luar negeri, SBY
mengirimkan delegasi pasukan Garuda sebagai pasukan perdamaian PBB, demi
menjaga ketentraman dunia, termasuk penanganan bantuan ke bumi Palestina.
Meskipun demikian ada kekurangan yang mesti dicatat, SBY kurang memperhatikan
permasalahan TKI yang makin hari makin tak terurus, dengan begitu banyaknya
penggelapan, ilegaloging, mafia-mafia pajak.
SBY
juga kurang memperhatikan integritas wilayah RI, sehingga beberapa kali
zona-zona perbatasan wilayah kesatuan RI dilewati (tanpa izin) begitu saja
tanpa ada penanganan yang berani dan hampir saja sebagian wilayah perairan RI
direbut oleh pihak tetangga, seperti yang terjadi pada kasus perairan Ambalat.
Padahal itu merupakan pelanggaran wilayah yang sudah menjadi ketentuaan, dan
peraturan RI dengan negara tetangga. Dalam hal ini SBY kurang tegas menangani
masalah tersebut. Namun demikian ini sudah menjadi mafhum bersama, karena SBY
adalah pewaris masalah dari era kepemimpinan sebelumnya, yang juga bertubi-tubi
masalah.
Sekarang
era kepemimpinan sudah berubah, dari SBY, tongkat estafeta kepemimpinan kini berpindah
ke era Jokowi. Awal pemerintahan Jokowi langsung dihiasi dengan kontroversi
kebijakan, seperti kenaikan bensin, penarikan subsidi transportasi khususnya
kereta api, dan lain sebagainya. Entah bagaimana kelanjutannya, mari kita lihat
sepak terjang politik beliau.
Tahukah
kalian? Bahwa kebanyakan pemimpin-pemimpin kita sudah termakan virus
kapitalisme sejak awal. Keserakahan, kekuasaan absolut, harta bertambah dan
melimpah, dan lain sebagainya. Apakah itu bagian dari karakter, prinsip, dan
mindset seorang pemimpin? Tidak. Kepemimpinan selalu membutuhkan, seorang yang
adil yang dapat berlaku sama rata dan sama rasa. Allah berfirman dalam
Al-Qur’an: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90)
Intisari
dari ayat tersebut adalah bahwa keadilan itu adalah fase keimanan yang terpadu.
Yaitu, fase dimana keadilan adalah pemersatu yang baik, haq, benar, dalam satu
tempat untuk dijadikan sisi aplikatif, sisi idealis dan mempersatukan yang
buruk, bathil, salah, dalam satu tempat yang diharapkan dapat menjadi
perbaikan. Manusia sebagai pelaku keadilan di dunia mesti membedakan antara haq
dan bathil, antara benar dan salah, baik dan buruk, semua dualisme atau
keterpaduan tersebut dihadapkan satu tembok yaitu keadilan. Keadilan-lah juga
yang akan memberikan kenyamanan, kebahagiaan, kesenangan, ketentraman dan
kesejahteraan bagi setiap manusia tanpa kompromi. Kesemua akibat itulah yang
diinginkan banyak manusia dalam kebersamaan, oleh sebab keadilan dari manusia
itu sendiri. Namun manusia justru melakukan hal sebaliknya, sehingga juga
mengakibatkan sebaliknya. Sehingga tidaklah terwujud kebersamaan yang
diinginkan, melainkan kebersamaan semu.
Melihat
bagaimana elit politik yang melakukan rasa kebersamaan yang semu di saat-saat
tertentu, Seperti saat pemilu misalnya. Saat pemilu bergulir, banyak kalangan
calon elit politik menarik massa untuk memperbanyak total pemilih tetap dengan
membagi-bagikan materi, dan memberikan hadiah yang muluk-muluk kepada
orang-orang tertentu guna memuluskan langkah pencalonannya. Tidak sedikit
diantara para calon elit politik itu yang gemar menyuplai uangnya ke semua
lini, semisal penegak hukum, penegak keadilan, dan sampai rakyat biasa untuk
mengkonsep kemenangan saat pemilu. Bukankah itu jalan kotor?
Memang
para pemimpin Indonesia ini tidaklah sempurna. Mereka bukanlah malaikat yang
senantiasa memberikan hal terbaik. Akan tetapi ketika suatu Negara yang
diperintah (dipimpin) oleh manusia yang berbeda dalam kurun waktu yang
bertahun-tahun lamanya, mengalami perubahan dan dinamisasi ke arah positif,
berupa kemajuan teknologi, komunikasi, dan media, perkembangan ilmu
pengetahuan, dan terdapatnya berbagai macam peralatan modern yang serba canggih
dengan berbagai macam kelebihan masing-masing, yang seharusnya memberikan
dampak hubungan simbiosis mutualisme (dimana satu sama lain saling menguntungkan),
komunikasi lebih baik, akan tetapi kemudian sejak lama tidak banyak diselingkan
dengan keadaan hidup manusia sosial dengan hubungan harmonis, serasi, dan
saling dapat berbagi kebaikan, kemanfaatan, daya guna, hikmah terutama dari
pihak atas ke bawah.
Patut
disayangkan, hanya sedikit dari banyak sumbangsih dalam berbagi masalah
kebaikan, sampai sekarang justru pemerintah dari pihak atas membagikan
penderitaan kepada rakyat, menyengsarakan rakyat, dan menelantarkan rakyat
tanpa memandang kalau rakyat itu adalah manusia sosial yang punya
ketergantungan terhadap manusia yang lain, termasuk ketergantungan terhadap
pemerintah negerinya. Padahal hakikatnya kita semua manusia sosial yang sama
tanpa berlebih-lebihan.
Di
tengah terus berkembangnya negeri, rakyat justru dipertontonkan dengan berbagai
macam masalah-masalah sosial politik yang berkaitan dengan pasca pemilu 2014
dimana era Jokowi memerintah. Seperti intrik-intrik pembangunan benih-benih
kekuasaan dari elemen partai, pergulatan internal beberapa partai politik dalam
perebutan kekuasaan, serta kasus-kasus tindak korupsi elit politik bahkan
terakhir kali dari penegak keadilan yang menambah daftar sampah-sampah baru,
memupuk mindset-mindset terpuruk sepanjang sejarah. Di lain sisi, dalam sosial
ekonomi, pemerintah justru mengambil inisiatif teledor, dengan memberikan sinyal
keterbukaan seluas-luasnya lapangan ekonomi global. Pasar ekonomi diprakirakan
akan banyak menjamur di Indonesia. Produk-produk luar negeri akan menumpuk
ruas-ruas jalan, sampai mungkin tak ditemukan lagi produk dalam negeri sendiri,
dan mengerikannya, negeri ini akan kembali menjadi penonton saat hartanya
dikeruk habis, menjadi romusha dan rodi zaman modern yang dahulu pernah
diembankan sebagaimana masa kolonialisme.
Dua
contoh itu adalah dua contoh tontonan mengerikan bagi kita semua. Menjadi
penonton sendiri di negeri sendiri dengan berbagai macam tumpukan
masalah-masalah urgen dan jelas di depan mata, memungkinkan negeri ini kembali
mengalami error of control, setelah melihat tanda-tanda kidung kematian sistem
tatanan sosial, yang sudah lama tidak berjalan dengan baik, sesuai, dan benar.
Pertama,
kita sudah dipertontonkan masalah demi masalah politik yang tak pernah selesai,
Kedua, kita dipertontonkan oleh barang-barang luar negeri (asing) tanpa
memperdulikan barang-barang milik sendiri, tanpa merasa menyesal menelantarkan
barang-barang sendiri, parahnya tidak bangga dengan barang milik sendiri. Bukankah
keduanya adalah tanda kematian sistem tatanan sosial? Karena kita hanya menjadi
penonton tanpa berbuat banyak dan terbaik untuk menyelesaikan masalah. Lantas apa
yang perlu kita perbaiki sekarang sekecil apapun dan langkah kecil apa selanjutnya
dalam membangun negeri ini, membangun subtansi dari mindset kebersamaan?
Pertama, real mindset of human building, jika
merujuk pada kebiasaan lama kita semua yang senantiasa gandrung dengan
menyemukan kebersamaan. Maka, yang perlu menjadi langkah kecil kita untuk
memperbaiki negeri, adalah memperbaiki tujuan kebersamaan yang sudah sejak lama
dihiasi oleh modus-modus semata, keinginan untuk mendapatkan balasan simpati
berlebih tanpa memperhatikan kepentingan bersama di kemudian hari. Sungguh,
ironis jika kesemuan ini senantiasa dipertahankan sampai sekarang.
Sebenarnya pemimpin-pemimpin kita tanpa
sadar terlalu terpaku pada kapitalisasi. Sehingga selalu haus akan kekuasaan.
Kebebasan individu adalah masalah politik dan kesejahteraan material adalah
masalah ekonomi ( Penyunting: Miriam Budiardjo bersama Friedman, 1984: 36).
Kapitalisme selalu identik dengan kebebasan individu dan material, yang
ujung-ujung mesti berkuasa dan kaya. Soekarno, Soeharto, dan banyak pemimpin
lainnya adalah icon-icon pemimpin yang terpaku pada sistem kapital secara tidak
langsung. Maka, langkah Kedua, real ideality of human
sociality, yaitu membuat langkah sosial yang non-kapital, yang tidak
mengedepan kepentingan individu, akan tetapi berusaha menyangkut pautkan diri
orang banyak dengan keuntungan yang dimiliki. Selalu memperhatikan kepentingan
orang banyak, tanpa berusaha melawan ego.
Yang Ketiga, yaitu real
renovation of human totality, menyandang satu garis bawah tentang
renovasi-renovasi (totalitas perbaikan).
Karena tiada mungkin dalam suatu pemerintahan sebelumnya tidak akan meninggalkan
setitik kesalahan satu-pun,
menyangkut kebijakannya. Dan sayangnya hal ini tidaklah dijadikan sebagai bahan
perubahan ke arah kebaikan. Pemerintah adalah manusia, pemimpin adalah manusia,
jangan sampai mewariskan hal yang parah ke generasi selanjutnya. Selesaikan
masa kepemimpinan dengan usaha yang terbaik, kalaupun masih terdapat masalah di
akhir kepemimpinan,
maka kurangi skala dan dampak buruk untuk generasi
kepemimpinan selanjutnya, sehingga terlihat tanggung jawab seorang pemimpin
yang sebenarnya, sehingga kepemimpinan selanjutnya tidak keteteran, kerepotan
memperbaiki kesalahan, masalah pemimpin sebelumnya, sedang masalah baru mulai
bermunculan saat itu.
Referensi:
Karseno, Arief Ramelan, MA., Ph.D (Ed.).
Dari Jogja Untuk Indonesia. 2003. PT. Hanindita Graha Widya, Yogyakarta
Kurdi, Prof. Dr. Abdulrahman Abdulkadir.
Tatanan Sosial Islam. 2000. Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), Yogyakarta
______________. Simposium Kapitalisme,
Sosialisme, Demokrasi (Penyunting: Miriam Budiardjo). 1984. Penerbit PT.
Gramedia, Jakarta
______________. Konflik Komunal Di
Indonesia Saat Ini. 2003. Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies
(INIS) Leiden bekerja sama dengan Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar