Melacak Garis Lurus Orientasi Gerakan Sosial Baru
Sosialisme
hadir untuk membela kepentingan masyarakat, khususnya bagi mereka para kaum
tertindas di dalam masyarakat. Berbicara di Indonesia saja, saya akan
membacanya garis lurus, apabila ia benar-benar cita-cita sosialisme yang ada
sejak awal era pergerakan menuju kemerdekaan.
Menurut pengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik
(PRD); Pimred Berdikari Online, Rudi Hartono, dalam
sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, diskursus sosialisme sangat dominan.
Hampir semua spektrum politik pergerakan nasional, yakni nasionalis, agamais,
dan marxis, mengakui cita-cita sosialisme dengan berbagai variannya. Artinya,
sebenarnya cita-cita sosialisme kemudian adalah cita-cita yang diidam-idamkan
dan diharapkan sangat kehadirannya oleh semua kalangan, yang bahkan dalam ranah
spektrum politik pergerakan nasional mengakui cita-cita sosialisme sebagai
kesepahaman, kesepakatan, dan diskursus bersama.
Bung Karno dianggap sebagai bapak proklamator RI. Ia adalah
seorang yang terus getol melantangkan
dan menegaskan revolusi dan cita-cita sosialisme-nya, semisal saat dengan
lantang mengatakan dalam pidatonya tertanggal 17 Agustus 1964,
“Revolusi kita bukan sekadar mengusir Pemerintahan
Belanda dari Indonesia. Revolusi kita menuju lebih jauh lagi daripada itu. Revolusi
Indonesia menuju tiga kerangka yang sudah terkenal. Revolusi Indonesia menuju kepada Sosialisme!
Revolusi Indonesia menuju kepada Dunia Baru tanpa ‘exploitation de l‘homme
par l‘homme’ dan ‘exploitation de nation par nation”[1]
Cita-cita sosialisme yang
diprakarsainya adalah revolusi menuju Indonesia, dimana tidak adalagi gangguan,
rongrongan, ancaman, dan bahaya yang datang. Negara murni berdikari, mengolah
asetnya sendiri tanpa eksploitasi (baca: gangguan, rongrongan) dari kolonialis,
kapitalis, dan imperialis. Negara murni memiliki ide gagasan negara sendiri
tanpa copy paste, duplikasi, atau tiruan dari manapun, walaupun diawali dengan
mencontoh negara lain. Sehingga pada akhirnya bangsa dari negara tersebut
benar-benar memiliki negaranya sendiri seutuhnya, sepenuhnya dan semakmurnya.
Lebih terang, kita mungkin
akan menyimpulkan, pada intinya cita-cita ini adalah cita-cita mulia yang
seharusnya hadir bagi bangsa Indonesia, yang merepresentasikan masyarakat
Indonesia sebagai masyarakat agamis, beradab, makmur, adil dan sejahtera suatu
hari.
Pancasila; Dasar Pijakan Keberagaman Sosial Indonesia
Pancasila sebagai ideologi
negara yang di dalamnya melingkupi cita-cita hidup orang banyak, dicetuskan
bersama oleh tokoh-tokoh kebangsaan tiada lain untuk merealisasikan bersama
cita-cita mulia, yakni untuk mewujudkan masyarakat agamis, beradab, makmur,
adil dan sejahtera. Kelima poin tadi sudah termaktub dalam Pancasila yang
terbagi ke dalam 5 sila.
Pertama, Ketuhanan yang Maha
Esa. Saat Piagam Jakarta, dalam sila pertama pancasila berbunyi “Ketuhanan yang
Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya” sampai
kemudian terdapat perubahan redaksional dengan menghilangkan tujuh kata setelah
kalimat “Ketuhanan yang Maha Esa…” yakni, “Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat
Islam bagi Pemeluknya”, sehingga menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa” saja.
Dalam sejarahpun kemudian
dicatat, ketika pembukaan UUD 1945 hendak ditetapkan, sebagian saudara sebangsa
kita dari Indonesia sebelah Timur meminta supaya tujuh kata sesudah kalimat “Ketuhanan
yang Maha Esa” dihapus. Maka, kemudian dilakukan konsultasi dengan tokoh-tokoh
islam, seperti KH. Hasyim Asy’ari dan lain-lain, hingga pada akhirnya disetujui
penghilangan tujuh kata tersebut, dengan landasan bahwa mempertahankan tujuh
kata dalam sila pertama tersebut, menurut KH. Wahid Hasyim, putra KH. Hasyim
Asy’ari, akan membuka pintu sektarianisme dalam perpolitikan Indonesia[2].
Hal ini tentu mengingatkan
kita kembali pada era terbaik sepanjang masa, masa ketika Rasulullah bersama para
sahabat menyebarluaskan Islam rahmatan lil alamin, yakni keselamatan bagi
keseluruh alam, termasuk umat manusia. Islam bertengger dan berdiri diantara
keberagaman, perbedaan dan mampu menerimanya (baca: toleransi).
Sebagaimana terjadi ketika
perumusan Perjanjian Perdamaian Hudaibiyah (Shulh al-Hudaibiyah) antara Rasulullah
dan para sahabat di satu pihak dengan para pemuka kaum Quraisy di lain pihak. Dalam
draft yang didiktekan oleh Rasulullah dan ditulis oleh sahabat Ali r.a.,
terdapat kalimat “Bi ism al-rahman al-rahim” dan “Rasul Allah”. Suhel bin Amr,
mewakili pihak Quraisy dengan tegas menolak kalimat itu: “Jika kami menerima
(mengimani kalimat) itu, untuk apa kita berunding?” Semula sahabat Ali menolak
keras permintaan Suhel tersebut. Tapi dengan kebesaran hatinya, Rasulullah menerima
usulan itu dan bahkan mencoretnya dengan tangan beliau sendiri, yang artinya ia
menghapus, menghilangkan dan membuang kata-kata tersebut. Sama persis seperti
penghapusan tujuh kata setelah “Ketuhanan yang Maha Esa”. Maka tercapailah kesepakatan damai (baca:
genjatan senjata) antara kedua pihak[3].
“Ketuhanan yang Maha Esa”
sebagai sila pertama, telah menyelaraskan pandangan religiusitas bangsa guna
memeluk agama dan keyakinannya masing-masing tanpa ada paksaan dan tanpa ada
gangguan bagi siapapun yang beribadat dengan baik dan taat. Sila pertama ini
pun juga telah menjembatani adanya perbedaan kepercayaan tiap manusia yang
hidup di Indonesia dengan kepercayaan masing-masing, agar dapat beribadat
sesuai kepercayaannya dan tidak saling sentiment, tidak membuat masalah, dan
tidak merusak keyakinan, adab, budaya, moral serta etika satu sama lain.
Kedua, adalah Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab. Manusia butuh keadilan dan keberadaban. Sejak baru lahir,
semua manusia diciptakan dari saripati yang sama. Proses perubahannya pun
melewati tahapan sama. Semua manusia yang lahir di dunia pernah menjadi janin,
embrio, dan bayi. Semua manusia memiliki hak asasi-nya sejak lahir.
Keadilan dan keberadaban
menjadi suatu keniscayaan bagi manusia. Tuhan sendiri telah mengajarkan kepada
kita tentang perilaku adil dan beradab, termaktub dalam Al-Qur’an surat An-Nahl
ayat 90,
إنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya:
Sesungguhnya
Tuhan (Allah) menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebijakan, memberi kepada
kamu kerabat, dan Tuhan (Allah) melarang dari perbuatan keji, kemungkaran
dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran. (16: 90)
Tuhan memberi pengajaran
agar manusia berlaku adil dan berbuat kebijakan, dan melarang dari perbuatan
keji, kemungkaran, dan permusuhan. Perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan
akan selalu menjadi tolak ukur larangan Tuhan kepada manusia. Keji, kemungkaran,
dan permusuhan adalah lawan-lawan dari keadilan, kebijaksanaan dan keberadaban.
Dan keadilan, kebijaksanaan dan keberadaban merupakan perintah Tuhan (baca:
Allah) yang mesti ditegakan di muka bumi, sebagaimana tergambarkan dalam
Al-Qur’an.
Menurut Masdar Farid,
prinsip-prinsip dasar yang dikenal dengan Pancasila meliputi salah satunya,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah sebagai landasan etiknya[4]. Landasan etik ini kemudian dimaksudkan
sebagai penisbatan manusia untuk memunculkan diri dan memanusiakan diri, yakni
dengan keadilan dan keberadaban. Di sisi lain, manusia memiliki sikap
kemanusiaan seperti tolong-menolong, toleransi, perhatian, kasih sayang, dan
cinta, juga sifat kemanusiaan seperti kejujuran, memegang amanah serta tanggung
jawab, menyampaikan kebaikan, dan cerdas dalam menentukan arah serta pilihan.
Berpikirnya manusia oleh
karena akal sehat yang menggerakannya, menjadikan manusia mampu bernalar, daya
peka, dan insting luar biasa guna melihat masa depan. Manusia memiliki
pemikiran dan pandangan masing-masing tentang masa depan. Entah masa depan akan
baik dan buruk, ditentukan oleh pemikiran dan pandangan manusia saat ini, yang kemudian
terrepresentasi dalam perbuatan, sifat dan tingkah laku dalam kehidupan. Tuhan
selalu memberi pengajaran di setiap peristiwa, guna memberi manusia pelajaran,
bahkan untuk menentukan masa depannya baik atau burukah masa depan itu. Masa
depan bagi manusia dan kemanusiaan.
Ketiga,
Persatuan Indonesia. Keberagaman sosial Indonesia, aneka ragam ras, suku,
etnis, adat istiadat, dan budaya, disatukan ke dalam satu kata “Indonesia”. Masdar
Farid pun menilai Persatuan Indonesia sebagai acuan sosial dari prinsip dasar
Pancasila[5]. Indonesia dengan banyak limpahan
karunia dari Tuhan, berupa tanah yang subur, beragam kebudayaan, beragam
bahasa, beragam hasil alam melimpah, dan beragam flora-fauna langka, tidak
dimiliki oleh bangsa dan negara lain, merupakan kesyukuran dan kenikmatan
hidup, sehingga dimanapun berada, bangsa harus menjaga kekayaan Indonesia,
bangsa mesti bersatu sekuat tenaga, jiwa dan raga untuk mempertahankan
Indonesia. Agama, ras, suku, etnis, adat istiadat, dan budaya boleh berbeda,
tetapi ketika mendengung nama “Indonesia”, semua disatukan. Semua bersatu
melawan segala bentuk kedzaliman, kelaliman, dan tindak kejahatan.
Persatuan merupakan
jalan menuju tatanan sosial maju. Manusia yang maju adalah manusia yang dapat
berhubungan satu sama lain tanpa membeda-bedakan, mendiskriminasi, dan membuat
permusuhan. Manusia semacam ini, yang nantinya dapat menyatukan bangsa.
Keempat,
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan. Lagi-lagi menurut Masdar Farid, kerakyatan sebagai prinsip
kenegaraan berarti bahwa kepentingan atau kemaslahatan rakyatlah yang harus
menjadi sumber dan rujukan semua kebijakan dan langkah kekuasaan negara, bukan
terutama kepentingan penguasanya atau si kuat yang ada di atas[6].
Maka tidak salah kemudian Masdar Farid menilai sila ke-empat ini sebagai acuan
politik prinsip dasar Pancasila[7],
yang berkenaan soal kepemimpinan, kerakyatan, serta hubungan politis antara
rakyat bersama pemimpin dalam berbangsa dan bernegara.
Lebih jelas lagi, rakyat
mesti diberikan ruang, wadah dan saluran penghubung, agar terjalin sebuah
dialog, dapat memunculkan kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, serta
kebebasan untuk memberi ide gagasan bangsa dan negara. Rakyat perlu dilibatkan
di dalam permusyawaratan, boleh diwakilkan perwakilan terbaik atau siapapun
yang mempunyai pandangan dan pemikiran cemerlang tentang bangsa dan negara,
tentunya akan memberikan sumbangsih berupa kerja nyata dan kinerja baik, konsisten
serta maksimal.
Pemimpin bagi rakyat
haruslah seorang arif dan bijaksana, sehingga mampu memimpin rakyat dengan baik,
memenuhi segala kebutuhannya dengan proporsional dan berimbang, melakukan
pembangunan berkemajuan baik pembangunan sikap, moral, dan etika bangsa yang
terangkum dalam pembangunan sumber daya manusia berkelanjutan, maupun
pembangunan fasilitas, sarana, prasarana guna menunjang kepentingan rakyat
tanpa terkecuali. Pada akhirnya kerakyatan dengan kepemimpinan semacam ini,
dapat mewujudkan hikmah dan kebijaksanaan guna merealisasikan bangsa dan negara
berkemajuan.
Kelima,
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Notonagoro melihat bahwa
Pancasila mempunyai susunan yang pyramidal.
Artinya, dari satu sisi, sila pertama bersifat universal, mempunyai jangkauan
paling luas dan menjadi dasar bagi sila-sila yang lain, sedangkan sila terakhir
merupakan pengkhususan yang sempit. Akan tetapi pada sisi yang lain,
masing-masing sila pun merupakan bagian integral dari totalitas yang tidak
dapat berdiri sendiri dan terlepas dari yang lain. Dengan demikian dalam
masing-masing sila pun tercermin sila-sila yang lain[8].
Kedudukan sila ke-lima
ini adalah sebagai eksekusi akhir, dinama terwujudnya suatu keadilan sosial. Semua
eleman rakyat Indonesia merasakan suasana atau keadaan negara yang adil. Adil
dalam arti kedamaian dan keamanan di negeri terjamin oleh karenanya (adil dari
pemimpin dan rakyatnya secara bersama-sama), semua elemen tanpa terkecuali
dapat hidup nyaman dan tentram dengan aktivitas-aktivitas sosialnya,
kepentingan bersama lebih diutamakan daripada kepentingan individual sehingga
budaya tolong-menolong, tenggang rasa, toleransi benar-benar hidup di dalamnya,
baik pemimpin terhadap rakyat ataupun sebaliknya, baik berbeda agama, ras,
suku, etnis, serta budaya daerah, baik berbeda pangkat, jabatan serta
kedudukan, baik berbeda pekerjaan, pengeluaran, serta pendapatan, baik berbeda
kepunyaan harta benda, sandang, pangan serta papan, baik berbeda umur, sikap,
serta prinsip hidup, semua menjurus pada hubungan baik dan harmonis. Semua
saling menghargai, menghormati, memperhatikan, kepekaan sosial terjalin secara
menyeluruh tanpa terkecuali.
Patutlah dan pantaslah,
Pancasila menjadi pondasi fundamental, ideologi negara, sebagai pijakan
keberagaman sosial Indonesia, bila membaca, mendalami dan menafsirkan bersama.
Pokok-pokok pemikiran di dalamnya mengandung nilai-nilai sosio-kritis, yang
jika mampu benar-benar diaplikasikan, akan terbentuk garis-garis lurus dan
orientatif bagi pengembangan dan kemajuan bangsa dan negara.
Menurut Juwono Sudarsono, gerakan sosial secara teoritis
merupakan sebuah gerakan yang lahir dari dan atas prakarsa masyarakat dalam
usaha menuntut perubahan dalam institusi, kebijakan atau struktur pemerintah.
Di sini terlihat tuntutan perubahan itu biasanya karena kebijakan pemerintah tidak
sesuai lagi dengan konteks masyarakat yang ada atau kebijakan itu bertentangan
dengan kehendak sebagian rakyat. Karena gerakan sosial lahir dari
masyarakat maka kekurangan apapun ditubuh pemerintah menjadi sorotannya. Dari
literatur definisi tentang gerakan sosial, adapula yang mengartikan gerakan
sosial sebagai sebuah gerakan yang anti pemerintah dan
juga pro pemerintah.
Ini berarti tidak selalu gerakan
sosial itu muncul dari masyarakat tapi bisa juga hasil rekayasa para pejabat
pemerintah atau penguasa[9].
Artinya ada dua garis besar haluan disini mengenai gerakan
sosial yang saya interpretasikan dari bahasan Juwono Sudarsono. Yang satu
adalah mereka yang benar-benar memprakarsai masyarakat dengan usaha-usahanya
menuntut perubahan, terindikasi oleh kebijakan pemerintahan yang tidak sesuai
bahkan melenceng dengan konteks masyarakat, sehingga (kebijakan pemerintah) bertentangan
dengan kehendak sebagian rakyat. Dan yang satu lagi adalah mereka yang
merupakan hasil rekayasa para pejabat pemerintah atau penguasa, dibuat dengan
bentuk gerakan dukungan (pro) atau perlawanan (kontra) terhadap pemerintahan,
namun pada titik akhirnya dimaksudkan agar pejabat pemerintah atau penguasa
dapat kokoh, tidak goyah, dan aman secara politis. Dari dua garis besar haluan diatas,
nampak sudah gerakan sosial selama ini telah terbagi atas dua kelompok, pertama
adalah mereka yang muncul dari masyarakat secara murni yang saya kategorikan
sebagai garis lurus, dan satunya adalah mereka yang muncul karena hasil
rekayasa pemerintahan yang saya kategorikan sebagai garis melenceng.
Gerakan Sosial Baru (GSB) atau New Social Movement merupakan fenomena gerakan sosial yang
berkembang sejak pertengahan tahun 1960-an. GSB sebagai perkembangan dari
konsep gerakan sosial hadir untuk mengoreksi prinsip-prinsip, strategi, aksi
ataupun pilihan ideologis yang digunakan Gerakan Sosial Lama (GSL) atau Old Social Movement. Jika GSL dicirikan
dengan tujuan ekonomis-material sebagaimana tercermin dari gerakan kaum buruh,
maka GSB menghindari pilihan ini dan menetapkan tujuan-tujuan non-ekonomis
material. GSB lebih menekankan pada perubahan-perubahan gaya hidup dan
kebudayaan daripada mendorong perubahan spesifik dalam kebijakan publik atau
perubahan ekonomi. Meskipun demikian, keduanya pada hakikatnya memiliki tujuan
yang sama, yakni keinginan untuk mewujudkan perubahan sosial[10].
Semua gerakan sosial baik lama maupun baru menekankan adanya
perubahan sosial dalam tatanan masyarakat. Adapun perbedaan antara baru dan
lama menurut Najmuddin, adalah ciri khas tujuan satu sama lain. Yang lama lebih
mengarah pada tujuan ekonomis-material, sedang yang baru justru menghindarinya,
dan lebih mengarah pada penekanan terhadap perubahan-perubahan gaya hidup dan
kebudayaan. Yang lama hadir karena alasan ekonomis-material yang hilang, habis
dan raib, karena dihadapkan pada zaman kolonialis dan imperialis, dimana secara
struktural dan kultural, bangsa pada saat itu telah dieksploitasi besar-besaran,
dan dikeruk hasil buminya. Sehingga mempengaruhi ekonomis-material bangsa saat
itu baik secara kultural maupun struktural. Pasca kemerdekaan, lambat laun
bangsa mulai menemukan keadaan dan tatanan sosial yang cukup baik, bangsa telah
dipimpin bangsanya sendiri, dan telah terbentuk negara berdaulat. Secara
struktural bangsa telah mendapati kembali jati dirinya. Namun dalam lingkup
ini, tetap masih dihiasi konflik-konflik, sengketa-sengketa, perlawanan-perlawanan
dan pemberontakan-pemberontakan, yang timbul karena perubahan tatanan sosial
masyarakat, termasuk perubahan gaya hidup dan kebudayaan sosial masyarakat.
Gerakan Sosial Baru hadir di tengah prosesi tersebut, dimana mulai
bermunculannya gaya hidup dan budaya kapitalistik yang sarat akan penindasan
dan bentuk eksploitasi baru di dalam tubuh bangsa dan negara saat itu, dan
sekarang, gaya hidup serta budaya hedonis yang juga sarat akan eksploitasi, penghancuran
dan pengkikis moral etika berbangsa dan bernegara. Dibutuhkan suatu gerakan
sosial dengan haluan garis lurus yang juga memiliki orientasi garis lurus untuk
mencegah dan menanggulangi gaya hidup dan budaya yang melenceng tersebut.
Orientasi gerakan sosial menurut Najamuddin adalah
terciptanya tatanan yang lebih berkeadilan sosial melalui perubahan sosial dari
yang semula sarat dengan eksploitasi menuju keseimbangan yang relatif bisa
memuaskan semua komponen[11]. Inilah bagi saya merupakan garis lurus
orientasi gerakan sosial baru. Sebagaimana sila terakhir Pancasila
berbunyi,”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Dimana keadilan secara
universal hadir bagi bangsa, dalam hal ini adalah masyarakat Indonesia secara
umum. Segala macam bentuk eksploitasi yang menjadi ciri khas gaya hidup dan
budaya kapitalis dan hedonis, sedikit demi sedikit harus digerus dan dilumpuhkan
karena tidak sesuai dengan pengamalan dan penghayatan terhadap Pancasila,
walaupun dalam prosesnya nanti akan sulit dilakukan.
Paling tidak dari tulisan ini, kita sudah menyadari bersama
pentingnya garis lurus orientasi gerakan sosial baru. Karena kita hanya
menginginkan perubahan positif mengarah pada cita-cita mulia yang selama ini
diperjuangkan pendahulu-pendahulu kita, yakni mewujudkan masyarakat agamis,
beradab, makmur, adil dan sejahtera.
Selama ini perlu diketahui ada berbagai macam gerakan sosial
dalam bentuk LSM dan Ormas bahkan Parpol yang kemudian menjamur di negeri ini. Dan
mereka mempunyai tujuan, garis haluan dan orientasi masing-masing, yang tidak
diketahui secara jelas dan pasti, terkecuali jika masuk ke dalamnya. Dari
situlah mesti ditimbulkan dan dimunculkan sikap kritis baik dalam membaca isu
strategis, mengolah isu menjadi wacana, menentukan arah, visi, misi ke depan
guna menunjang perubahan positif, serta konsisten berkelanjutan dalam
mempertahankan ide gagasan positif yang dianut dan diperjuangkan. Billahi Fi
Sabilil Haq, Fastabiqul Khoirot… Wa Allahu ‘Alamu Bis Shawwab…
[1]Artikel “Bung Karno: Revolusi Indonesia Menuju Sosialisme!” oleh Rudi Hartono; Pimred Berdikari Online, thn 2013.
[2]Masdar Farid Mas’udi dkk, Islam
Nusantara; Dari Ushul Fiqih hingga Paham Kebangsaan, Op.cit., (Greg Barton,
2003) hal. 313.
[3]Ibid, Op.cit., (Riwayat Bukhari –
Muslim; juga: Tafsir Khazin, Juz V, hal. 444).
[4]Masdar Farid Mas’udi dkk, Islam
Nusantara; Dari Ushul Fiqih hingga Paham Kebangsaan, hal. 288.
[5] Ibid.
[6]Ibid, hal. 314.
[7]Ibid, hal. 288.
[8]M. Abdul Karim, Menggali Muatan
Pancasila dalam Perspektif Islam, Op.cit (Notonagoro, 1984) hal. 17-18.
[9]Juwono Sudarsono (ed),
Pembangunan Politik Dan Perubahan Politik, hal. 24-25.
[10]Artikel “Gerakan Sosial Baru (New Social
Movement)” oleh Najamuddin Khairurrijal, Penulis di www.haryoprasodjo.com, thn
2014.
[11]Ibid.
Daftar Pustaka :
Karim, M. Abdul. Menggali
Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: Surya Raya bekerja
sama dengan Sunan Kalijaga Press, 2004.
Mas’udi dkk, Masdar Farid. Islam Nusantara; dari Ushul Fiqih hingga Paham Kebangsaan. Bandung:
Mizan Media Utama, 2015.
Sudarsono, Juwono. Pembangunan
Politik Dan Perubahan Politik. Jakarta: Gramedia, 1976.
Artikel “Bung Karno: Revolusi Indonesia Menuju Sosialisme!” oleh Rudi Hartono; Pimred Berdikari Online, tahun 2013.
Artikel
“Gerakan Sosial Baru (New Social
Movement)” oleh Najamuddin Khairurrijal, Penulis di www.haryoprasodjo.com,
tahun 2014.
0 komentar:
Posting Komentar