Minggu, 08 September 2013

0 Inilah Rasa Khawatir yang Normal untuk Pemerintah Abnormal


Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Kalian Ya...!!!

Inilah Rasa Khawatir yang Normal untuk Pemerintah Abnormal


Banyak pengamat mengatakan kalau tahun 2025, Indonesia akan menjadi satu dari tujuh Negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Mendengar dan melihat pendapat ini, saya justru merasa khawatir, bukan malah merasa senang atau bahagia. Adanya kesenangan dan kebahagian saya juga, jika ada! toh tidak akan membuat negeri ini berubah. Adanya kesenangan dan kebahagian saya, jika adapun!  Tidak akan dapat sebanding untuk menghibur orang se-negeri, ketika tengah berkecamuk dilema dan problema berkepanjangan. Masyarakat kita, tak lebih baik membutuhkan itu (sebuah konspirasi penjaTuhan). Sebenarnya kita hanya cukup membutuhkan sebuah perubahan jati diri negeri sedikit saja, tanpa harus berkecamuk dengan mode hedonisme kebaratan, made in China, mode eksplorasi yang benarnya adalah mode eksploitasi besar-besaran, dan seringkali menghiasi sepak terjang negeri ini. Karena semua itu merupakan badmode yang bisa membuat badmood negeri ini. Itu selera yang tidak baik, tidak berpendirian, apalagi bagi kita yang punya tujuan hidup jelas dan tak terbatas. Terkhusus negeri ini, yang punya basis religi dunia dan akhirat, yaitu islam rahmatan lil alamin.  
Anggap saja seperti ini misalnya, jika seorang berpikir bahwa dunia ini akan selamanya ada dan kita hidup abadi di dalamnya, maka ia telah salah membuat persepsi karena Tuhan telah mempersiapkan alam kubur dan alam akhirat setelahnya. Namun jika ada seseorang berpikir, dunia ini hanya sementara dan ada alam lain dimana kita akan abadi di dalamnya, maka ia sepenuhnya telah berpikir dengan benar dan terarah, karena memang dari awal Tuhan telah mempersiapkan alam kubur dan alam akhirat setelahnya. Kedua konteks pernyataan tersebut, telah menyandarkan satu hal bahwa absolut tak terbantahkan. Kita pikir saja baik-baik lewat akal pikiran, jika Tuhan menciptakan dunia ini untuk selamanya dan kita akan hidup selamanya dengan abadi di bumi dunia ini, lalu buat apa ada halal dan haram, buat apa ada benar dan salah, buat apa ada hak dan bathil, buat apa ada baik dan buruk, buat apa ada perintah dan larangan, buat apa ada hidup dan mati, serta buat apa ada surga dan neraka? Semua itu tentu memiliki arti pemisahan, pengantaraan, pembeda, dan penentuan salah satunya. Kita diharuskan untuk mengambil salah satunya. Ketika sebuah pilihan muncul, maka ada satu nilai yang mesti dilakukan, yaitu memilih hal yang absolut tak terbantahkan, begitu halnya memilih salah satu dari baik dan buruk misalnya, kita mesti memilih hal yang absolut, dan kebenaran itulah yang absolut.

Jadi, tak lebih baikkah kita memilih untuk memiliki jati diri sendiri? Dengan mengutamakan keadaan diri yang begitu bobrok, kurangnya kesejahteraan, dan tidak adanya budaya moral untuk membangun. Negeri ini tengah mendapati dan melewati banyak dekadensi segala bidang. Dari perekonomian, negeri ini tiada habisnya mengambil jalan kilat, yang sebenarnya membuat sesat. Bayangkan! Negeri penghasil banyak produk mentah ini, yang seharusnya punya perekonomian terbaik di dunia, justru menjadi negeri dengan perekonomian terpuruk di dunia. Barang-barang produksi jadi dari USA, China, Jepang, dan lainnya, selalu menghiasi. Impor-impor dari Negara lain, yang tak ada hentinya, seperti menjelaskan negeri ini tak memiliki satupun penghasilan selain memungut ke Negara lain. Melupakan petani, pengusaha, buruh, karyawan, pegawai negeri sendiri. Nilai mata uang Rupiah yang anjlok, utang Negara yang belum terselesaikan hingga turun-temurun, turut memperpuruk negeri ini.
Dalam pemerintahan, negeri ini tak kalah semrawut. Indeks persentase korupsi negeri kita berada pada angka 3, yang berarti tingkat korupsi masih banyak dan mungkin bisa bertambah lagi. Kasus korupsi memang tiada habisnya diwacanakan, malah menjadi suatu budaya. Kebenaran di negeri ini relatif, dapat berubah-rubah sesuai dengan isi amplop. Mengaku kebenaran, tetapi di belakang layar banyak melakukan adegan menusuk. Muka dan tampang pun dipalsukan, untuk menarik simpati. Seakan ikut simpati terhadap keadaan negeri ini. Benar kata Agus R. Sarjono dengan Sajak Palsu-nya, kalau negeri ini tengah berada pada dimensi palsu sejak lama.
Dalam pendidikan, kita memang banyak menghasilkan SDM yang berkualitas. Beberapa kali kontes robot internasional, kita raih. Olimpiade dari tahun ke tahun, hampir tidak pernah absen baik dalam mengirimkan kontingen dan dalam menyabet gelar medali. Negeri ini malah pernah menjadi juara dunia dalam olimpiade fisika internasional, hebat bukan! Kreativitas dan inovasi juga tak kalah bersaing, beberapa kali anak-anak bangsa kita mengukir penghargaan internasional dalam berbagai aspek dan kategori, luar biasa bangsa ini bukan! Tapi sayang sekali, tak banyak pemerintah yang benar-benar peduli dalam meningkatkan mutu pendidikan negeri ini. Mereka hanya tahu uang saja, jabatan saja, pangkat saja, dan hanya tahu dengan cara memberi simpati dan dukungan palsu, maka mereka akan kokoh di tampuk kekuasaan. Dengan demikian mereka akan dapat penghasilan banyak, rekening mereka dapat gemuk, dan mereka dapat bermewah-mewahan. Lebih dari itu, di balik itu semua mereka tengah membuat proyek pengokohan, terselubung, dan pengalih perhatian. Mereka selalu berpikir percaya diri yang salah, tak akan ada yang tahu, jika simpati bermodus, dukungan berembel-embel, topeng palsu, sudah mereka kerahkan agar orang lain menganggap diri mereka mempunyai reputasi yang baik, berperilaku baik, dan punya pemikiran brilian untuk menciptakan stabilitas kepentingan bersama. Jika ada kinerja tak memuaskan diri mereka secara materi, gampang saja bagi mereka yang memiliki kekuasaan. Mereka hanya tinggal membuat langkah tak biasa dari sebelumnya.
Saya tidak merasa senang sama sekali, jika perekonomian bangsa ini menjadi yang terbesar. Saya malah khawatir, negeri ini akan dimanfaatkan lebih banyak oleh orang-orang asing demi menguntungkan kepentingan orang kaya saja, orang yang tak memikirkan rakyat kecil, dan orang yang tak bertanggung jawab. Saya sudah banyak menyaksikan, saat orang-orang itu membeli hukum untuk membela diri, saat orang-orang itu menyingkirkan seorang yang punya banyak kontribusi baik jiwa, raga, harta terhadap negeri, saat orang-orang itu mengumbar janji palsu, saat orang-orang itu lari dari kesalahan yang mereka perbuat sendiri, saat orang-orang itu acuh tak acuh pada kebusukan diri mereka sendiri. Mereka melakukan hal yang tak biasa, dan mereka abnormal. Bisa juga dibilang idiot. Sebaiknya kita memulai untuk berkata tidak pada hal yang tidak biasa itu. Lebih baik kita hidup dengan normal-normal saja, mendapat jerih payah normal, memberi makan pada keluarga dengan nafkah yang halal, dan tidak berpikir juhal. Waallahu alamu bi showab…                

0 komentar:

Posting Komentar