Minggu, 21 April 2013

0 Tidak Hanya Perempuan, tetapi Semuanya


Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Kalian Ya...!!!

Tidak Hanya Perempuan, tetapi Semuanya

April ini, tepatnya tanggal 21 April, perempuan menjadi sorotan utama. RA. Kartini sebagai tambuk pemrakarsa emansipasi wanita Indonesia, akan dikenang selalu. Begitupun RA. Sartika sang perintis selanjutnya. RA. Sartika mengupayakan benar-benar emansipasi wanita sebagai pengestafetan kemajuan kaum hawa. Tetapi kenapa harus perempuan, punya emansipasi? Dan tidak untuk lelaki. Padahal, kalau kita lihat di lapangan, perbudakan demi perbudakan zaman dahulu bukan di peruntukan bagi kaum hawa saja, tetapi juga para lelaki.
Soal per-tidak sama-an derajat, hak, dan kedudukan, kekerasan terhadap perempuan, penindasan baik secara fisik maupun psikis terhadap perempuan oleh para lelaki, adalah latar belakang pemicu pergerakan emansipasi wanita, sangat dibenarkan sekali, karena pada waktu itu lelaki memang lebih berkuasa ketimbang perempuan. Masalahnya justru terletak pada keadaan moral kita baik sekarang dan dahulu, khususnya di negeri ini. Kalau soal mendominasi, lelaki memang tercatat di hampir semua cakupan bidang. Namun, parameter sekarang menyayangkan akan kemerosotan bangsa ini, sehingga ketidak majuan negeri ini perlu diperhatikan. Jadi, sebenarnya sama saja ihwalnya. Bahwa tidak hanya perempuan, mengalami dilema perbudakan, laki-laki pun juga mengalaminya, di negeri ini. Tak hanya perempuan, punya emansipasi, lelaki pun harus turut andil beremansipasi. Hakikatnya semuanya, laki-laki dan perempuan, bersama-sama bahu-membahu menuju kemajuan.
Indonesia dari dulu sampai sekarang, selalu tertindas. Penjajahan Belanda selama 350 tahun, disusul oleh Jepang selama 3,5 tahun, hingga mengalami Freedom of Country (kemerdekaan dalam negeri), tetap tak membuat negeri ini terhindar dari era perbudakan. Orang Belanda banyak menyebut orang Indonesia sebagai inlander (pribumi) tiada berarti, hanya rodi yang pantas bagi inlander. Memasuki, penjajahan jepang pun tak jauh berbeda, negeri ini tak ubahnya diperlakukan seperti budak bertahun-tahun lamanya, para romusha demikian orang jepang menyebut bangsa kita.

Banyak pihak sudah mengupayakan negeri ini, terlajur dalam kedinamisan positif. Upaya pencanangan sistem-sistem pemerintahan secara gencar telah banyak diberlakukan. Namun, selalu berbuah pertikaian diakhirnya. Unjuk rasa anti pemerintahan banyak dilakukan kelompok-kelompok masyarakat dalam satuan tani, remaja mahasiswa, buruh-buruh pabrik, tak berefek sedikitpun terhadap terjalinnya pemerintahan idealis. Justru membuat kerusuhan, berujung pada pertikaian antar instansi pemerintah dan rakyat. Rakyat menjadi bulanan para instansi pemerintah yang terdiri dari polisi dan bagian keamanan lainnya, karena diduga ingin memberontak. Ini semua adalah fenomena negeri kita sampai saat ini. Selalu ada reaksi kontroversial, dimana kebenaran entah berada di pihak mana, lantaran semuanya mengaku berdiri pada kebenaran dan tak bisa diganggu gugat. Sangat disayangkan sekali, demi menuju Indonesia makmur, Kita malah seperti saling berbeda tujuan. Kita seperti sedang menghadapi musuh tak jelas, lawan tak jelas, sehingga tak berujung pada akhirnya, terus-menerus menjalar, merambat bahkan turun-temurun. Bagaimana kemudian berpikir memajukan negeri ini, kalau masih terus memikirkan diri sendiri, sok benar, sok memikirkan orang lain dalam bualan belaka.
Perempuan dengan keadaan negeri yang semakin parah. Membuat mereka menjadi langganan, bulanan bagi yang lain (lelaki). Karena pola berpikir semua orang kala itu tidak lepas dari praduga, bahwa perempuan hanya akan melajurkan pada permusuhan dan kehancuran. Hingga akhirnya mereka menerornya, menyiksanya, mengintimidasinya dan menyingkirkannya. Perempuan akhirnya merasa dipojokkan, dikhianati, diberlakukan tak wajar. Demikian masa lalu perempuan yang kelam dan perih.
Zaman berubah, dan perempuan mulai mengajukan persamaan. Yang benar saja! Wong dari dulu kita sama kok. Lalu apanya yang mesti dipersamakan kembali. Inilah kemudian menimbulkan emansipasi perempuan lebih lanjut. Emansipasi yang tidak diketahui dengan jelas.
Hakikatnya kita memang bersama-bersama dalam menegakkan kebenaran. Jadi semua harus turut merasakan penderitaan yang menimpa bangsa ini. Senang bangsa ini, maka kita rasakan harus bersama, derita negara ini, juga harus kita rasakan bersama. Itu yang kemudian disebut tenggang rasa, kebersamaan, gotong-royong, dan toleransi. Namun apa daya, banyak dari kita sebagai rakyat tidaklah mengelukan negaranya. Justru acuh-tak-acuh. Banyak pemikir, namun miskin realisasi dan implementasi. Banyak konglomerat, justru memikirkan diri sendiri dan menumpuk (menimbun) kekayaan. Banyak perkumpulan organisasi, tetapi tidak memungsikan dirinya secara maksimal. Banyak politikus, menyibukkan pada jabatan dan kekuasaan. Banyak... banyak... banyak lagi.
Saya sadar, saya tidaklah selalu bergelimang kebenaran. Saya hanya seorang yang berdiam dibalik keadaan negeri ini. Tapi saya juga turut merasakan bagaimana kepedihan negeri ini. Saya jelas masih cinta dengan negeri ini. Maka izinkan saya mendedikasikan tulisan ini kepada khalayak ramai. Supaya kesadaran walau barang sedikit, bisa muncul. Mohon maaf, kalau ini terkesan memojokkan. Tapi ini kata hati saya. Mari kita beremansipasi diri... tidak hanya perempuan saja... tetapi semuanya... supaya kita maju... wa allahu alamu bis shawab...

0 komentar:

Posting Komentar