Senin, 03 Agustus 2015

0 Ramadhan dan Lebaran yang Sesak (Sebuah Refleksi dari Hal yang Terlewat, Sebelum Terlambat)


Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Kalian Ya...!!!


(Sebuah Refleksi dari Hal yang Terlewat, Sebelum Terlambat)

Fenomena Ramadhan dan berlebaran tahun ini, mengungkapkan satu kenyataan sesak ketimbang hari-hari besar lain yang ada. Indonesia ini terkenal dengan berbagai macam etnis, budaya, suku, dan kelompoknya dimana-mana. Dinamika inilah yang membuat hari-hari besar di dalam kalender Indonesia ini banyak. Otomatis sisi perayaannya juga memiliki karakteristik dan variasi masing-masing untuk mencapai visi-misi-tujuannya masing-masing pula.
Di tengah keaneka ragaman itu, momen Ramadhan dan berlebaran selalu menjadi momen bagi sebagian besar manusia Indonesia, dengan alasan serupa yakni mempunyai kepentingan di dalamnya. Sebagian besar manusia Indonesia dengan keaneka ragaman itu, dengan etnis,  suku dan kebudayaan itu turut serta. Semua berkepentingan di dalamnya. 
Ramadhan adalah hari-hari berpuasa bagi umat islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, dan tentunya masuk dalam daftar hari besar di Indonesia, karena hari-hari dalam bulan Ramadhan adalah hari-hari bagi umat islam yang merupakan mayoritas. Hari raya lebaran merupakan satu dari hari besar di negeri ini. Acapkali membuat hiruk-piruk masyarakat saat itu menjadi ramai melintang di jalanan, di terminal, di stasiun, di pelabuhan, di bandara, dan dimana saja selama tempat tersebut dapat memulangkannya. Memulangkannya? Ya, lebaran selalu menjadi hari penuh keramah-tamahan, rasa silahturahmi terasa erat, dan saling memaafkan kesalahan yang telah lama antar sesama. Manusia Indonesia banyak berpulang ke kampungnya, daerah tempat dilahirkannya.
Sayangnya ini hanya berlaku di lebaran saja, keramah-tamahan hanya berlaku sekali setahun, rasa silahturahmi hanya berlaku kali itu saja, dan memaafkan antar sesama hanya kalau ada lebaran saja. Selain lebaran, tidak! Saya rasa tidak untuk hari-hari selain itu. Ramadhan dan Lebaran dibuat sesuatu yang istimewa daripada hari-hari lainnya di Indonesia ini. Hanya di Indonesia, yang saat lebaran meriahnya minta ampun, bukan mainnya, seperti semut keluar dari sarangnya.
Ramadhan dan lebaran di tanah air tercinta, tidak ubahnya sejak dulu hingga sekarang, selalu sesak, ramai orang berlalu-lalang, ramai petasan-petasan menyambar, ramai gaduh pedagang-pedagang di pasar tidak seperti keramaian hari berdagang biasanya. Promo-promo barang dikeluarkan dari yang murah meriah sampai yang mahalnya naudzubillah, diskon-diskon kebutuhan lebaran muncul begitu saja disana-sini, ya tidak seperti biasanya. Semua serba diperbaharui, dipermak berbagai rupa, pakaian-pakaian yang bekas entah dipakai lagi atau tidak, karena sudah ada baju baru yang lebih cemerlang, ngejreng, dan mengkilap. Kebutuhan pangan semakin berlebihan, bukan malah berkurang. Budaya konsumtif berlebih, kental menghiasi Ramadhan dan lebaran, padahal suatu yang berlebihan akan mengakibatkan dampak serta hal yang buruk.
Bisa dipikir kalau sebenarnya dalam bulan Ramadhan sebenarnya kita dapat berhemat ekonomi, karena kebutuhan makan sehari-hari hanya menjadi dua kali sehari, berkurang sekali. Bayangkan kalau sekali makan kita mengeluarkan kocek sebesar 5000 rupiah, dikali sebulan menjadi 150.000 rupiah. Berarti kita telah mengurangi jatah makan sebulan yang biasanya 450.000 rupiah menjadi 300.000 rupiah, kita dapat menghemat sebesar 150.000 rupiah pada saat bulan Ramadhan. Uang sebesar 150.000 rupiah tersebut dapat kita pakai untuk kebutuhan lain yang penting. Bisa juga dipakai untuk pengeluaran keperluan yang tidak terduga. 
Ramadhan dan lebaran seperti ritual yang mesti bagi manusia Indonesia. Ya, kita sebagai umat islam memang harus menyambut bulan Ramadhan, karena bulan Ramadhan memang bulan yang diistimewakan dari yang lain. Waktu ramadhan kita berzakat, berpuasa, intinya banyak berbuat baik, sedang di hari biasa di luar bulan Ramadhan, tidak mesti! Terkadang, sesekali, bahkan bisa dihitung dengan jari. Dibanding kebaikan kita, keburukan kita-lah yang lebih banyak diperbuat. Bahkan di bulan Ramadhan-pun yang kita istimewakan, yang kita anggap sebagai bulan penuh rahmat dan kasih sayang, bulan penuh magfiroh dari Allah, dan bulan penuh dengan kebaikan, masih saja diantara kita yang banyak berbuat keburukan. Sehingga seakan bulan Ramadhan bernilai istimewa formalitas saja, bukan istimewa kualitas. Apa jangan-jangan jika tidak ada bulan Ramadhan, kita takkan berbuat baik? Silahkan dipikirkan baik-baik.
Ada apa dengan Ramadhan dan lebaran? Mengapa harus dan memaksakan baru saat lebaran, mengapa harus berbeda saat lebaran? Mengapa harus saat di hari-hari bulan Ramadhan saja banyak berbuat baik, tetapi di hari-hari lain tidak? Mengapa nilai berbedanya harus dengan hal-hal yang konsumtif berlebih-lebihan di bulan Ramadhan dan lebaran? Mengapa tidak kita silahturahmi antar sesama saja sesering mungkin? Mengapa kita tidak saling memaafkan saja saat bertengkar, berkelahi, berdebat, malah terus-menerus memperkeruh masalah seperti hari-hari di luar Ramadhan atau hari-hari biasa? Mengapa harus menunggu lebaran untuk saling memaafkan? Mengapa tidak lebih baik berbeda saja dari yang dulunya buruk ke yang baik, yang dulunya salah ke yang benar? Apa karena kita tidak bisa membedakan mana yang benar dan yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk? Atau karena kita tidak suka berubah menjadi orang yang baik, lebih baik dari sebelumnya? Sehingga kita lebih suka hal yang menyesakkan diri sendiri, orang lain, seperti di Ramadhan dan lebaran yang sesak ini.
Kawan, teman, sahabat, atau apalah sebutannya itu… jangan sampai di bulan Ramadhan selanjutnya kita minim berbuat baik. Juga, banyak berbuat baik jangan hanya sekali setahun, di hari-hari biasa, usahakan harus untuk banyak berbuat baik. Karena itu adalah kumpulan amal jariah kita, yang kelak akan dipertanyakan, akan jadi penolong kita di akhirat kelak, karena dia tidak akan terputus. Wa Allahu Alamu Bis Shawab…


0 komentar:

Posting Komentar