(Sebuah
Refleksi dari Hal yang Terlewat, Sebelum Terlambat)
Fenomena
Ramadhan dan berlebaran
tahun ini, mengungkapkan
satu kenyataan sesak ketimbang hari-hari besar lain yang ada. Indonesia ini
terkenal dengan berbagai macam etnis, budaya, suku, dan kelompoknya
dimana-mana. Dinamika inilah yang membuat hari-hari besar di dalam kalender
Indonesia ini banyak. Otomatis sisi perayaannya juga memiliki karakteristik dan
variasi masing-masing untuk mencapai visi-misi-tujuannya masing-masing pula.
Di tengah keaneka ragaman itu, momen Ramadhan
dan berlebaran selalu menjadi momen bagi sebagian besar manusia Indonesia,
dengan alasan serupa yakni mempunyai kepentingan di dalamnya. Sebagian besar
manusia Indonesia dengan keaneka ragaman itu, dengan etnis, suku dan kebudayaan itu turut serta. Semua
berkepentingan di dalamnya.
Ramadhan adalah hari-hari berpuasa bagi umat
islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, dan tentunya masuk dalam daftar
hari besar di Indonesia, karena hari-hari dalam bulan Ramadhan adalah hari-hari
bagi umat islam yang merupakan mayoritas. Hari raya
lebaran merupakan satu dari hari besar di negeri ini. Acapkali membuat
hiruk-piruk masyarakat saat itu menjadi ramai melintang di jalanan, di
terminal, di stasiun, di pelabuhan, di bandara, dan dimana saja selama tempat
tersebut dapat memulangkannya. Memulangkannya? Ya, lebaran selalu menjadi hari penuh keramah-tamahan, rasa
silahturahmi terasa erat, dan
saling memaafkan kesalahan yang telah lama antar sesama. Manusia Indonesia
banyak berpulang ke kampungnya, daerah tempat dilahirkannya.
Sayangnya ini hanya berlaku di lebaran saja,
keramah-tamahan hanya berlaku sekali setahun, rasa silahturahmi hanya berlaku
kali itu saja, dan memaafkan antar sesama hanya kalau ada lebaran saja. Selain
lebaran, tidak! Saya rasa tidak untuk hari-hari selain itu. Ramadhan dan Lebaran dibuat sesuatu yang istimewa daripada hari-hari lainnya di Indonesia
ini. Hanya di Indonesia, yang saat lebaran meriahnya minta ampun, bukan
mainnya, seperti semut keluar dari sarangnya.
Ramadhan dan lebaran di tanah air tercinta,
tidak ubahnya sejak dulu hingga sekarang, selalu sesak, ramai orang
berlalu-lalang, ramai petasan-petasan menyambar, ramai gaduh pedagang-pedagang
di pasar tidak seperti keramaian hari berdagang biasanya. Promo-promo barang
dikeluarkan dari yang murah meriah sampai yang mahalnya naudzubillah, diskon-diskon kebutuhan lebaran muncul begitu saja
disana-sini, ya tidak seperti
biasanya. Semua serba diperbaharui, dipermak berbagai rupa, pakaian-pakaian
yang bekas entah dipakai lagi atau tidak, karena sudah ada baju baru yang lebih
cemerlang, ngejreng, dan mengkilap.
Kebutuhan pangan semakin berlebihan, bukan malah berkurang. Budaya konsumtif
berlebih, kental menghiasi Ramadhan dan lebaran, padahal suatu yang berlebihan
akan mengakibatkan dampak serta hal yang buruk.
Bisa dipikir kalau sebenarnya dalam bulan
Ramadhan sebenarnya kita dapat berhemat ekonomi, karena kebutuhan makan
sehari-hari hanya menjadi dua kali sehari, berkurang sekali. Bayangkan kalau
sekali makan kita mengeluarkan kocek sebesar 5000 rupiah, dikali sebulan
menjadi 150.000 rupiah. Berarti kita telah mengurangi jatah makan sebulan yang
biasanya 450.000 rupiah menjadi 300.000 rupiah, kita dapat menghemat sebesar
150.000 rupiah pada saat bulan Ramadhan. Uang sebesar 150.000 rupiah tersebut
dapat kita pakai untuk kebutuhan lain yang penting. Bisa juga dipakai untuk
pengeluaran keperluan yang tidak terduga.
Ramadhan dan lebaran seperti ritual yang mesti
bagi manusia Indonesia. Ya, kita
sebagai umat islam memang harus menyambut bulan Ramadhan, karena bulan Ramadhan
memang bulan yang diistimewakan dari yang lain. Waktu ramadhan kita berzakat,
berpuasa, intinya banyak berbuat baik, sedang di hari biasa di luar bulan
Ramadhan, tidak mesti! Terkadang, sesekali, bahkan bisa dihitung dengan jari.
Dibanding kebaikan kita, keburukan kita-lah yang lebih banyak diperbuat. Bahkan
di bulan Ramadhan-pun yang kita istimewakan, yang kita anggap sebagai bulan
penuh rahmat dan kasih sayang, bulan penuh magfiroh
dari Allah, dan bulan penuh dengan kebaikan, masih saja diantara kita yang
banyak berbuat keburukan. Sehingga seakan bulan Ramadhan bernilai istimewa
formalitas saja, bukan istimewa kualitas. Apa jangan-jangan jika tidak ada
bulan Ramadhan, kita takkan berbuat baik? Silahkan dipikirkan baik-baik.
Ada apa dengan Ramadhan dan lebaran? Mengapa
harus dan memaksakan baru saat lebaran, mengapa harus berbeda saat lebaran?
Mengapa harus saat di hari-hari bulan Ramadhan saja banyak berbuat baik, tetapi
di hari-hari lain tidak? Mengapa nilai berbedanya harus dengan hal-hal yang
konsumtif berlebih-lebihan di bulan Ramadhan dan lebaran? Mengapa tidak kita
silahturahmi antar sesama saja sesering mungkin? Mengapa kita tidak saling
memaafkan saja saat bertengkar, berkelahi, berdebat, malah terus-menerus
memperkeruh masalah seperti hari-hari di luar Ramadhan atau hari-hari biasa?
Mengapa harus menunggu lebaran untuk saling memaafkan? Mengapa tidak lebih baik
berbeda saja dari yang dulunya buruk ke yang baik, yang dulunya salah ke yang
benar? Apa karena kita tidak bisa membedakan mana yang benar dan yang salah,
mana yang baik dan mana yang buruk? Atau karena kita tidak suka berubah menjadi
orang yang baik, lebih baik dari sebelumnya? Sehingga kita lebih suka hal yang
menyesakkan diri sendiri, orang lain, seperti di Ramadhan dan lebaran yang
sesak ini.
Kawan, teman, sahabat, atau apalah sebutannya
itu… jangan sampai di bulan Ramadhan selanjutnya kita minim berbuat baik. Juga,
banyak berbuat baik jangan hanya sekali setahun, di hari-hari biasa, usahakan
harus untuk banyak berbuat baik. Karena itu adalah kumpulan amal jariah kita,
yang kelak akan dipertanyakan, akan jadi penolong kita di akhirat kelak, karena
dia tidak akan terputus. Wa Allahu Alamu
Bis Shawab…
0 komentar:
Posting Komentar