Rabu, 16 Oktober 2013

0 Identik Terorisme; Pesantren?


Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Kalian Ya...!!!
Identik  Terorisme; Pesantren?
(Mengingat Kembali)


Sengaja para anti-islam menamakannya demikian. Agar islam senantiasa diluputi rasa gusar dan ketakutan. Islam dinilai bertolak-belakang dari pelbagai aspek yang mendukung zaman modern ini. Terorisme! Siapa yang salah sebenarnya dibalik ini semua? Jawabannya sangat jelas, anda bisa menebaknya bukan. Karena identik barat mulai menggerogoti segala aspek yang berkaitan dengan sektor pembangunan kembali dunia islam, khususnya di sektor sosial-politik. Maka secara perlahan kemajuan dunia islam terhambat pasca kemunduran sampai kehancuran khilafah islamiyah. Namun demikian pesantrenisasi besar-besaran yang diprakarsai oleh para alumni timur tengah (orang Indonesia yang belajar di timur tengah) berwarga-negara asli Indonesia, telah menjawab esensi pola kehidupan umat islam sebagai titik kemajuan kembali. Serta menjabarkan lebih akurat terkait dekonstruksi khilafah islamiyah.
Pondok Modern Gontor, PP. Al-Amien Prenduan, PP. Darunnajah, PP. Tebuireng, PP. Nurul Jadid, PP. Sidogiri dan sebagainya, adalah usaha, kerja keras, dan hasil putra nusantara, bergelut dalam islamisasi yang saat itu terancam oleh adanya penjajahan. Kristenisasi kolonial Belanda dan ajaran-ajaran pendewaan matahari (hinomaru) oleh Jepang, menjangkit ke seluruh pelosok nusantara, kala itu. Kita mulai dari kolonialisme. Perjuangan rakyat berkobar dimana-mana, tanpa pandang senjata, tanpa pandang status. Dengan peralatan seadanya, rakyat terus maju menentang kolonialisme, walau harus mati sekalipun. Ada gerakan petani, bangsawan, buruh, raja-raja kecil, pangeran-pangeran, adipati-adipati, anggota militer bangsa, bahkan para santri yang masih belia baik dalam pengalaman bertempur maupun tinjauan umur, semua membabi-buta berjuang melawan kolonialisme.
Gerakan-gerakan menentang penjajahan ini terus berlanjut, termasuk para santri belia itu. Mereka terus berusaha melajurkan negeri ini pada rute dan arah yang aman. Sehingga tidak sedikit dari kalangan santri yang syahid (gugur) dalam medan pertempuran. Mereka rela mengorbankan waktu, materi, tenaganya demi negeri yang kacau oleh kemelut penjajahan. Kolonialisme saat itu sedang merajai dunia. Pengaruh terbesar dan tersebar dengan berbagai macam tindak-tanduk, menghalalkan segala cara. Tekanan kolonialisme ini, serentak menyandarkan nusantara sebagai penghasil sumber daya alam paling kaya, yang harus kehilangan kenyataan manis. Sampai kemudian kolonialisme berakhir, setelah 350 tahun.
Setelah berakhirnya kolonialisme, negeri bukan malah membaik. Kolonialisme berganti kepada masa-masa lebih genting. Jepang dengan ajaran Shinto, pendewaan terhadap matahari (hinomaru) menambah penderitaan bangsa ini selama 3,5 tahun. Inlander (sapaan orang Belanda kepada kita) berganti dengan romusha. Bangsa ini dibilang bangsa pekerja, bangsa yang sia-sia hidup. Sehingga sempurna-lah penderitaan bangsa ini. Diperparah oleh pergulatan politik barat yang menghancurkan, yang tiada habisnya. Tepatnya dari mulai Perang Dunia I sampai II. Semua seakan menindak lanjuti keterpurukan negeri ini, walaupun melihat banyak potensi dan kelebihan yang tidak dimiliki oleh negeri lain.
Penjajahan terdahulu untungnya masih menyisakan suasana terbaik, dimana negeri mendapatkan haknya, freedom of country! Indonesia dapat merdeka setelah sekian lama mengalami polemik internal dan eksternal. Tahun 1945 dimana Indonesia mengakhiri krisis penjajahan berkepanjangan. Indonesia memulai hidup baru tanpa kolonialisme dan pengaruh shinto (ajaran-ajaran pendewaan matahari). Namun nyatanya ini masih belum cukup mengantarkan negeri ini pada kemakmuran hidup yang diimpikan. Kemerdekaan yang didapat negeri ini hanya sebatas merdeka lewat pernyataan resmi, merdeka yang hanya lepas dari penjajahan tanpa kemakmuran dan kesejahteraan.
Oleh karenanya muncul-lah gerakan saparatis anti-pemerintahan, seperti pasukan Darul Islam, pemberontakan Ibnu Hajar, pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), AMI (Anggota Muda Islam) dan lain sebagainya. Pemberontakan-pemberontakan ini hadir karena didasari oleh rasa ketidak puasan terhadap pemerintah. Golongan-golongan ini adalah golongan yang mengatas-namakan islam. Dan kita tidak mengetahui secara pasti apakah mereka benar-benar memberontak dengan tujuan ingin membuat kerusakan pada negeri ini, atau mungkin mereka hanya mengatas-namakan islam sehingga mereka dapat mencoreng muka islam dengan berbagai macam pemberontakannya, atau mungkin saja sebenarnya mereka tak ada niat untuk memberontak. Mereka hanya dituduh sebagai kelompok saparatis yang kemudian membuat mereka tak menerima pernyataan tersebut sampai akhirnya melawan. Bisa saja bukan, sejarah bisa saja dipalsukan. Sehingga sejarah memuat pernyataan yang salah dan fatal.
Pengkajian secara ilmiah harus dibuktikan. Mengingat dampak yang begitu besar akan terjadi seiring waktu berjalan. Saya begitu tahu bagaimana pejuang-pejuang dengan begitu susah payah mempertahankan kemerdekaan ini pasca Proklamasi. Dari kembalinya Belanda dan sekutu ke Indonesia dalam bentuk NICA, kemudian datangnya PKI (Partai Komunis Indonesia), APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), RMS (Republik Maluku Selatan), Batalyon, MMC (Merapi Merbabu Komplek), PRRI (Perjuangan Revolusioner Republik Indonesia), Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) ke Indonesia bersamaan pemberontakan-pemberontakan kelompok islam yang telah disebutkan tadi. Sejarah jangan sampai menjadi racun yang memunafikkan kita semua. Sejarah Indonesia terbilang masih tabu, hitam-putih dan kandungan kontroversial, menjadi satu dalamnya. Bagaimana tidak memungkinkan terjadinya pengaturan sejarah palsu. Bisa saja ini sejarah palsu.
Mohon maaf... ini bukan masalah kepercayaan dan ketidak-percayaan, ini masalah benar atau salah. Kalau toh sejarah ini benar, mengapa tidak! Kita pasti percaya sepenuhnya. Dan kalau toh sejarah ini salah mengapa tidak kita perbaiki bersama-sama. Demi anak-cucu kita kelak yang mempelajari sejarah kebudayaan ini. Saya tidak-lah memvonis sejarah tidak benar (salah). Saya juga tidak mengklaim sejarah ini sebuah kemunafikkan. Saya hanya khawatir, seandainya sejarah ini benar-benar jauh dari nilai kebenaran, lantas siapa mau tanggung jawab? Anak-cucu kita sudah terlanjur dicekoki sejarah yang salah, misalnya. Kita perlu memikirkan jalan keluarnya.
Dalam sejarah sepertinya islam dicoreng-moreng dengan pelbagai tindak negatifnya. Bahkan sampai sekarangpun, islam terus dihujat dengan bermacam kedigdayaan doktrin gagal (paham gagal). JIL, Jama’ah Ahmadiyah, gerakan islam sekuler dan lain sebagainya, semuanya adalah paham gagal, dimana kebebasan berpikir kini disalah-gunakan, tidak sesuai dengan pengamalan syariat islam. Sekarang tiada lagi kebebasan berpikir, yang ada hanya kebebasan bertindak. Main hakim sendiri, main vonis sana-sini, membuat doktrin asal menarik, asal canggih, dan asal dapat keuntungan duniawi. Bukan main edan pemikiran ini. Sampai-sampai terkikis aqidah dan itikad seorang muslim.
  
Sebagai contoh lagi, seperti pondok pesantren. Representasi pondok pesantren yang jelas-jelas ikut-serta mengembangkan pendidikan dan pengajaran bangsa, sehingga negeri ini berproses pada kemajuan, malah jungkir balik. Ada sebagian oknum, menuduh pondok pesantren sebagai biang keladi dari terorisme yang bergulir di Indonesia. Para alumni pesantren dituduh sebagai dalang di balik terorisme. Kredibilitas pondok pesantren akhirnya sedikit oleng, sebab pesantren dikambing-hitamkan sebagai penghasil teroris-teroris kelas kakap. Ironisnya lagi sebagian masyarakat juga terpengaruh dengan adanya isu terorisme tersebut, sehingga membuat goyah kepercayaan masyarakat terhadap pondok pesantren.
Jangan hanya melihat bungkus saja, lihat sinerginya. Apakah benar berita di media-media itu? Kita kembali ke dimensi awal mula terorisme menjalar di Indonesia. Memang kita melihat, tokoh-tokoh pemrakarsa seperti Imam Samudra, Amrozi, dan lain sebagainya, yang merupakan alumni pondok pesantren adalah seorang teroris. Itu kalau benar mereka seorang alumni pesantren, atau kalau benar seorang tokoh teroris. Seandainya tidak benar! Mungkin saja mereka seorang teroris yang bukan seorang alumni pesantren, lalu mengaku sebagai alumni pesantren, atau mereka hanya dituduh teroris, atau mungkin mereka memang berniat memprovokasi agar terciptanya pandangan buruk terhadap pondok pesantren, sampai segala cara diupayakan, seperti mengaku sebagai santri. Semua itu bisa saja terjadi bukan. Hingga merembet ke pondok-pondok pesantren lain.
Berdalih menyama-ratakan pondok pesantren sebagai penelur teroris-teroris kelas kakap. Adakah pondok pesantren yang memberontak terhadap negara? Tidak! Adakah mereka (kalangan pondok pesantren) berbuat hal yang tidak wajar? Tidak! Sepertinya adem ayem saja. Hanya mungkin oknum-oknum tertentu yang menginstruksikan agar pondok pesantren sebaiknya diperiksa kinerja dan stabilitasnya, sebab pondok pesantren dianggap bermasalah.
Lalu apa permasalahannya? Apa karena pondok pesantren mengajarkan bela diri? Apa karena pondok pesantren mengajarkan nilai jihad fi sabilillah? Bukankah itu wajar? Bela diri berguna bagi kita untuk mempertahankan diri. Nilai jihad fi sabilillah perlu kita pelajari, karena sampai saat ini umat islam lemah dalam segala sektor, hingga perlu ruhul jihad untuk mengembalikan kembali semangatnya. Wajar! Bila seorang muslim harus kuat baik fisik maupun mental. Sebab biar bagaimana pun seorang muslim tidak bisa begitu saja menyerah pada kedzaliman, kekufuran, kemurtadan, dan bentuk ancaman lainnya.
Ya akhir-akhir ini, ada salah satu pondok pesantren yang dituduh teroris, hanya karena ekskul bela diri bernuansa islami, seperti Tifan. Padahal kinerja pesantren adalah menumbuhkan kembali ruhul jihad yang selama ini mati. Sepertinya wajar-wajar saja bila terdapat bela diri. Di sekolah-sekolah baik swasta maupun negeri, keterampilan bela diri sepertinya dijadikan ekstra-kulikuler kesehariannya, dan pesantren pun menerapkan itu. Hampir saja isu terorisme ini ditelan bulat-bulat oleh masyarakat. Dan untungnya isu ini baru sebuah dilematis tabu yang merebak di masyarakat.     
Negeri ini sudah dipenuhi kedzaliman. Dari mulai pemerintah pusat sampai bawahannya, menumpuk kedzaliman. Pondok pesantren sebagai salah satu figur yang jelas dibutuhkan negeri ini, oleh sebab mayoritas kita adalah islam, oleh sebab upaya terciptanya suasana agamis tanpa permusuhan, tidak diperhatikan dengan baik. Kurang adanya dukungan dan tinjauan khusus, seakan mengesankan pondok pesantren umpama daerah terisolir. Hampir saja pandangan buruk terhadap pondok pesantren berlanjut. Dan hampir saja pemeriksaan stabilitas dan kinerja pesantren berrantai. Ini jelas salah satu ketidak-adilan dari banyak ketidak-adilan. Belum lagi pelaku-pelaku kasus pelanggaran UUD 1945, determinasi politik mengerikan, serta globalisasi di segala sektor. Semua seakan menyampaikan bahwa hidup ini tidak akan lama lagi. Sampai membuat bumi ini bertindak. Jangan salahkan bencana alam, begitu parah melanda negeri ini. Ada saja kriminalitas, langganan kemaksiatan, hal-hal mudharat, persentase kecelakaan dan kematian, sampai penulis hafal di luar kepala.                          

Apakah negeri ini tengah mendapat kutukan seperti yang didapati oleh umat-umat terdahulu? Umat Nabi Nuh, umat Nabi Luth, umat Nabi Hudd, umat Nabi Sholih Alaihumus Salam? Walaupun dalam bentuk yang berbeda, entahlah. Tapi yang jelas perlu kita pikirkan sekarang, ada apa di balik ini semua? Mengapa demikian bertubi-tubi tuhan melancarkan entah cobaan, entah musibah, ataupun naudzubillah seandainya ini adalah sebuah azab yang diturunkan kepada kita? Kita tidak akan mengetahui secara pasti hal ini. Kita kembalikan pada diri masing-masing. Adapun mengenai pondok pesantren ini, anggap saja ini sebagai cerminan yang mesti kita harus sadari mulai sekarang. Tulisan ini bukan semata-mata sebagai respon negatif dari insan pondok pesantren. Ini sindiran yang dirasa pas buat pelaku negeri ini, dimana ego masih di kedepankan. Telusuri! Keegoan kita. Mengapa ego kita terlalu besar? Padahal orang barat sedang menyerang kita dari belakang. Dan sudah banyak doktrin barat yang mempengaruhi karakteristik kita. Wa allahu a’lamu bis shawab...

0 komentar:

Posting Komentar