Identik
Terorisme; Pesantren?
(Mengingat Kembali)
Sengaja para anti-islam menamakannya demikian. Agar islam senantiasa
diluputi rasa gusar dan ketakutan. Islam dinilai bertolak-belakang dari
pelbagai aspek yang mendukung zaman modern ini. Terorisme! Siapa yang salah
sebenarnya dibalik ini semua? Jawabannya sangat jelas, anda bisa menebaknya
bukan. Karena identik barat mulai menggerogoti segala aspek yang berkaitan
dengan sektor pembangunan kembali dunia islam, khususnya di sektor
sosial-politik. Maka secara perlahan kemajuan dunia islam terhambat pasca kemunduran
sampai kehancuran khilafah islamiyah. Namun demikian pesantrenisasi
besar-besaran yang diprakarsai oleh para alumni timur tengah (orang Indonesia
yang belajar di timur tengah) berwarga-negara asli Indonesia, telah menjawab
esensi pola kehidupan umat islam sebagai titik kemajuan kembali. Serta
menjabarkan lebih akurat terkait dekonstruksi khilafah islamiyah.
Pondok Modern Gontor, PP. Al-Amien Prenduan, PP. Darunnajah, PP.
Tebuireng, PP. Nurul Jadid, PP. Sidogiri dan sebagainya, adalah usaha, kerja
keras, dan hasil putra nusantara, bergelut dalam islamisasi yang saat itu terancam
oleh adanya penjajahan. Kristenisasi kolonial Belanda dan ajaran-ajaran
pendewaan matahari (hinomaru) oleh Jepang, menjangkit ke seluruh pelosok
nusantara, kala itu. Kita mulai dari kolonialisme. Perjuangan rakyat berkobar
dimana-mana, tanpa pandang senjata, tanpa pandang status. Dengan peralatan
seadanya, rakyat terus maju menentang kolonialisme, walau harus mati sekalipun.
Ada gerakan petani, bangsawan, buruh, raja-raja kecil, pangeran-pangeran,
adipati-adipati, anggota militer bangsa, bahkan para santri yang masih belia
baik dalam pengalaman bertempur maupun tinjauan umur, semua membabi-buta berjuang
melawan kolonialisme.
Gerakan-gerakan menentang penjajahan ini terus berlanjut, termasuk para
santri belia itu. Mereka terus berusaha melajurkan negeri ini pada rute dan
arah yang aman. Sehingga tidak sedikit dari kalangan santri yang syahid (gugur)
dalam medan pertempuran. Mereka rela mengorbankan waktu, materi, tenaganya demi
negeri yang kacau oleh kemelut penjajahan. Kolonialisme saat itu sedang merajai
dunia. Pengaruh terbesar dan tersebar dengan berbagai macam tindak-tanduk,
menghalalkan segala cara. Tekanan kolonialisme ini, serentak menyandarkan
nusantara sebagai penghasil sumber daya alam paling kaya, yang harus kehilangan
kenyataan manis. Sampai kemudian kolonialisme berakhir, setelah 350 tahun.
Setelah berakhirnya kolonialisme, negeri bukan malah membaik.
Kolonialisme berganti kepada masa-masa lebih genting. Jepang dengan ajaran
Shinto, pendewaan terhadap matahari (hinomaru) menambah penderitaan bangsa ini
selama 3,5 tahun. Inlander (sapaan
orang Belanda kepada kita) berganti dengan romusha.
Bangsa ini dibilang bangsa pekerja, bangsa yang sia-sia hidup. Sehingga
sempurna-lah penderitaan bangsa ini. Diperparah oleh pergulatan politik barat
yang menghancurkan, yang tiada habisnya. Tepatnya dari mulai Perang Dunia I
sampai II. Semua seakan menindak lanjuti keterpurukan negeri ini, walaupun
melihat banyak potensi dan kelebihan yang tidak dimiliki oleh negeri lain.
Penjajahan terdahulu untungnya masih menyisakan suasana terbaik, dimana
negeri mendapatkan haknya, freedom of
country! Indonesia dapat merdeka setelah sekian lama mengalami polemik
internal dan eksternal. Tahun 1945 dimana Indonesia mengakhiri krisis
penjajahan berkepanjangan. Indonesia memulai hidup baru tanpa kolonialisme dan
pengaruh shinto (ajaran-ajaran pendewaan matahari). Namun nyatanya ini masih
belum cukup mengantarkan negeri ini pada kemakmuran hidup yang diimpikan.
Kemerdekaan yang didapat negeri ini hanya sebatas merdeka lewat pernyataan
resmi, merdeka yang hanya lepas dari penjajahan tanpa kemakmuran dan
kesejahteraan.
Oleh karenanya muncul-lah gerakan saparatis anti-pemerintahan, seperti
pasukan Darul Islam, pemberontakan Ibnu Hajar, pemberontakan DI/TII (Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia), AMI (Anggota Muda Islam) dan lain sebagainya.
Pemberontakan-pemberontakan ini hadir karena didasari oleh rasa ketidak puasan
terhadap pemerintah. Golongan-golongan ini adalah golongan yang
mengatas-namakan islam. Dan kita tidak mengetahui secara pasti apakah mereka
benar-benar memberontak dengan tujuan ingin membuat kerusakan pada negeri ini,
atau mungkin mereka hanya mengatas-namakan islam sehingga mereka dapat
mencoreng muka islam dengan berbagai macam pemberontakannya, atau mungkin saja
sebenarnya mereka tak ada niat untuk memberontak. Mereka hanya dituduh sebagai kelompok
saparatis yang kemudian membuat mereka tak menerima pernyataan tersebut sampai
akhirnya melawan. Bisa saja bukan, sejarah bisa saja dipalsukan. Sehingga
sejarah memuat pernyataan yang salah dan fatal.
Pengkajian secara ilmiah harus dibuktikan. Mengingat dampak yang begitu besar
akan terjadi seiring waktu berjalan. Saya begitu tahu bagaimana pejuang-pejuang
dengan begitu susah payah mempertahankan kemerdekaan ini pasca Proklamasi. Dari
kembalinya Belanda dan sekutu ke Indonesia dalam bentuk NICA, kemudian
datangnya PKI (Partai Komunis Indonesia), APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), RMS
(Republik Maluku Selatan), Batalyon, MMC (Merapi Merbabu Komplek), PRRI
(Perjuangan Revolusioner Republik Indonesia), Permesta (Perjuangan Rakyat
Semesta) ke Indonesia bersamaan pemberontakan-pemberontakan kelompok islam yang
telah disebutkan tadi. Sejarah jangan sampai menjadi racun yang memunafikkan
kita semua. Sejarah Indonesia terbilang masih tabu, hitam-putih dan kandungan
kontroversial, menjadi satu dalamnya. Bagaimana tidak memungkinkan terjadinya
pengaturan sejarah palsu. Bisa saja ini sejarah palsu.
Mohon maaf... ini bukan masalah kepercayaan dan ketidak-percayaan, ini
masalah benar atau salah. Kalau toh sejarah
ini benar, mengapa tidak! Kita pasti percaya sepenuhnya. Dan kalau toh sejarah ini salah mengapa tidak kita
perbaiki bersama-sama. Demi anak-cucu kita kelak yang mempelajari sejarah
kebudayaan ini. Saya tidak-lah memvonis sejarah tidak benar (salah). Saya juga
tidak mengklaim sejarah ini sebuah kemunafikkan. Saya hanya khawatir,
seandainya sejarah ini benar-benar jauh dari nilai kebenaran, lantas siapa mau
tanggung jawab? Anak-cucu kita sudah terlanjur dicekoki sejarah yang salah, misalnya. Kita perlu memikirkan jalan
keluarnya.
Dalam sejarah sepertinya islam dicoreng-moreng dengan pelbagai tindak
negatifnya. Bahkan sampai sekarangpun, islam terus dihujat dengan bermacam
kedigdayaan doktrin gagal (paham gagal). JIL, Jama’ah Ahmadiyah, gerakan islam
sekuler dan lain sebagainya, semuanya adalah paham gagal, dimana kebebasan
berpikir kini disalah-gunakan, tidak sesuai dengan pengamalan syariat islam. Sekarang
tiada lagi kebebasan berpikir, yang ada hanya kebebasan bertindak. Main hakim
sendiri, main vonis sana-sini, membuat doktrin asal menarik, asal canggih, dan
asal dapat keuntungan duniawi. Bukan main edan
pemikiran ini. Sampai-sampai terkikis aqidah dan itikad seorang
muslim.
Sebagai contoh lagi, seperti pondok pesantren. Representasi pondok
pesantren yang jelas-jelas ikut-serta mengembangkan pendidikan dan pengajaran
bangsa, sehingga negeri ini berproses pada kemajuan, malah jungkir balik. Ada
sebagian oknum, menuduh pondok pesantren sebagai biang keladi dari terorisme
yang bergulir di Indonesia. Para alumni pesantren dituduh sebagai dalang di
balik terorisme. Kredibilitas pondok pesantren akhirnya sedikit oleng, sebab pesantren
dikambing-hitamkan sebagai penghasil teroris-teroris kelas kakap. Ironisnya
lagi sebagian masyarakat juga terpengaruh dengan adanya isu terorisme tersebut,
sehingga membuat goyah kepercayaan masyarakat terhadap pondok pesantren.
Jangan hanya melihat bungkus saja, lihat sinerginya. Apakah benar berita
di media-media itu? Kita kembali ke dimensi awal mula terorisme menjalar di
Indonesia. Memang kita melihat, tokoh-tokoh pemrakarsa seperti Imam Samudra,
Amrozi, dan lain sebagainya, yang merupakan alumni pondok pesantren adalah
seorang teroris. Itu kalau benar mereka seorang alumni pesantren, atau kalau
benar seorang tokoh teroris. Seandainya tidak benar! Mungkin saja mereka
seorang teroris yang bukan seorang alumni pesantren, lalu mengaku sebagai
alumni pesantren, atau mereka hanya dituduh teroris, atau mungkin mereka memang
berniat memprovokasi agar terciptanya pandangan buruk terhadap pondok pesantren,
sampai segala cara diupayakan, seperti mengaku sebagai santri. Semua itu bisa
saja terjadi bukan. Hingga merembet ke pondok-pondok pesantren lain.
Berdalih menyama-ratakan pondok pesantren sebagai penelur teroris-teroris
kelas kakap. Adakah pondok pesantren yang memberontak terhadap negara? Tidak!
Adakah mereka (kalangan pondok pesantren) berbuat hal yang tidak wajar? Tidak!
Sepertinya adem ayem saja. Hanya
mungkin oknum-oknum tertentu yang menginstruksikan agar pondok pesantren sebaiknya
diperiksa kinerja dan stabilitasnya, sebab pondok pesantren dianggap bermasalah.
Lalu apa permasalahannya? Apa karena pondok pesantren mengajarkan bela
diri? Apa karena pondok pesantren mengajarkan nilai jihad fi sabilillah?
Bukankah itu wajar? Bela diri berguna bagi kita untuk mempertahankan diri. Nilai
jihad fi sabilillah perlu kita pelajari, karena sampai saat ini umat islam
lemah dalam segala sektor, hingga perlu ruhul jihad untuk mengembalikan kembali
semangatnya. Wajar! Bila seorang muslim harus kuat baik fisik maupun mental.
Sebab biar bagaimana pun seorang muslim tidak bisa begitu saja menyerah pada
kedzaliman, kekufuran, kemurtadan, dan bentuk ancaman lainnya.
Ya akhir-akhir ini, ada salah satu pondok pesantren yang dituduh teroris,
hanya karena ekskul bela diri bernuansa islami, seperti Tifan. Padahal kinerja
pesantren adalah menumbuhkan kembali ruhul jihad yang selama ini mati. Sepertinya
wajar-wajar saja bila terdapat bela diri. Di sekolah-sekolah baik swasta maupun
negeri, keterampilan bela diri sepertinya dijadikan ekstra-kulikuler
kesehariannya, dan pesantren pun menerapkan itu. Hampir saja isu terorisme ini
ditelan bulat-bulat oleh masyarakat. Dan untungnya isu ini baru sebuah
dilematis tabu yang merebak di masyarakat.
Negeri ini sudah dipenuhi kedzaliman. Dari mulai pemerintah pusat sampai
bawahannya, menumpuk kedzaliman. Pondok pesantren sebagai salah satu figur yang
jelas dibutuhkan negeri ini, oleh sebab mayoritas kita adalah islam, oleh sebab
upaya terciptanya suasana agamis tanpa permusuhan, tidak diperhatikan dengan
baik. Kurang adanya dukungan dan tinjauan khusus, seakan mengesankan pondok
pesantren umpama daerah terisolir. Hampir saja pandangan buruk terhadap pondok
pesantren berlanjut. Dan hampir saja pemeriksaan stabilitas dan kinerja
pesantren berrantai. Ini jelas salah satu ketidak-adilan dari banyak
ketidak-adilan. Belum lagi pelaku-pelaku kasus pelanggaran UUD 1945,
determinasi politik mengerikan, serta globalisasi di segala sektor. Semua
seakan menyampaikan bahwa hidup ini tidak akan lama lagi. Sampai membuat bumi
ini bertindak. Jangan salahkan bencana alam, begitu parah melanda negeri ini.
Ada saja kriminalitas, langganan kemaksiatan, hal-hal mudharat, persentase
kecelakaan dan kematian, sampai penulis hafal di luar kepala.
Apakah negeri ini tengah mendapat kutukan seperti yang didapati oleh
umat-umat terdahulu? Umat Nabi Nuh, umat Nabi Luth, umat Nabi Hudd, umat Nabi
Sholih Alaihumus Salam? Walaupun dalam bentuk yang berbeda, entahlah. Tapi yang
jelas perlu kita pikirkan sekarang, ada apa di balik ini semua? Mengapa demikian
bertubi-tubi tuhan melancarkan entah cobaan, entah musibah, ataupun naudzubillah seandainya ini adalah
sebuah azab yang diturunkan kepada kita? Kita tidak akan mengetahui secara
pasti hal ini. Kita kembalikan pada diri masing-masing. Adapun mengenai pondok
pesantren ini, anggap saja ini sebagai cerminan yang mesti kita harus sadari
mulai sekarang. Tulisan ini bukan semata-mata sebagai respon negatif dari insan
pondok pesantren. Ini sindiran yang dirasa pas buat pelaku negeri ini, dimana
ego masih di kedepankan. Telusuri! Keegoan kita. Mengapa ego kita terlalu
besar? Padahal orang barat sedang menyerang kita dari belakang. Dan sudah
banyak doktrin barat yang mempengaruhi karakteristik kita. Wa allahu a’lamu bis shawab...
0 komentar:
Posting Komentar