Pemilu; Membuat
Pilu, dari Dulu
Bagi penulis,
pemilu sebagai satu program negara dalam menentukan tampuk pemerintahan atau
bisa disebut sebagai pesta politik Indonesia, yang seharusnya menampakkan
keseriusan sejalan dengan keselarasan budaya, sosial, pendidikan, dan ekonomi,
dimana kesemuanya adalah aspek-aspek menonjol dalam negeri, sebaliknya tidak
menampakkan keselarasan terhadap aspek-aspek tersebut. Contohnya saja, banyak
dari kalangan partai-partai politik sudah terlebih dahulu memunculkan isu, spekulasi,
dan modus politik di dalam iklan-iklan televisi, media massa, dan jejaring
sosial media yang belum saatnya pada waktu itu untuk digembor-gemborkan.
Padahal saat
itu, adalah puncak dimana pemerintah berpapasan dengan tumpukan permasalahan
negara yang masih banyak belum terselasaikan, seperti pengidentifikasian para
koruptor yang masih menjadi PR pemerintah dalam menanggulanginya, walaupun
secara langsung tugas ini diserahkan kepada KPK. Penstabilan perekonomian yang
masih terkesan dini untuk dikatakan membaik, padahal itu hanyalah statement media
dari pemerintah yang ingin menampakkan wajah dan citra baiknya di media massa.
Pendidikan di
Indonesia pun masih berjalan di tempat, melihat dari penyelenggaraan pendidikan
yang belum banyak menampakkan ke-efektif-an proses, penyelenggaraan terbaik
dari tenaga pendidik dan kependidikan, serta kejelian dalam mengontrol peserta
didik. Budaya yang dimiliki negeri ini, tidak lagi dibanggakan sebagaimana
mestinya, justru lebih membanggakan budaya luar. Di akhir periode pemerintahan
ini, seharusnya pemerintah sadar secepatnya untuk menyelesaikan setidaknya
sebagian dari banyak problema yang menumpuk ini. Agar tidak menjadi kebiasaan
pemerintah sebelumnya yang selalu meninggalkan masalah, mewariskan masalah,
mengestafetkan masalah kepada pemerintah selanjutnya. Tentu saja, permasalahan
akan terus menumpuk, dan tidak akan pernah selesai, jika terus-menerus
kebiasaan tersebut dipertahankan.
Memang
terdapat banyak upaya pemerintah menyelesaikan permasalahan tersebut. Sejak dari
awal, kinerja pemerintah sekarang dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan
tersebut memang tidak memuaskan banyak pihak, terutama golongan rendah yang
dalam hal ini adalah masyarakat tingkat bawah. Pemerintah tidak membuat
dobrakan-dobrakan efektif dalam satu hal, sehingga kesannya pemerintah tidak
fokus, tidak tertuju pada satu titik terlebih dahulu, tidak konsisten berkinerja,
tidak konstruktif (membangun) dalam menentukan kebijakan sampai imbasnya
masalah demi masalah kian menumpuk, disebabkan tidak adanya kebijakan tepat dan
sesuai dengan keinginan mayoritas masyarakat.
Pemilu dalam
proses dan persiapaannya memang tidak se-jalan dengan koneksivitas dan
penanggapan terhadap aspek lainnya. Entah bagaimana KPU, Bawaslu, dan lainnya
yang bersangkutan langsung dengan politik, tidak memperhatikan seksama keadaan
masyarakat Indonesia pada waktu ini. Entah memang sengaja atau tidak sengaja,
instansi-instansi yang bersangkutan dengan politik tidak pula memberikan andil
besar, dan hanya tau kalau tugas pemerintahan pada waktu itu sudah hampir
selesai dan akan segera turun dari jabatannya, sehingga perlu diadakan pemilu.
Padahal, kondisi dan situasi negeri pada waktu ini masih belum begitu stabil untuk
berpindah-pindah fokus. Seharusnya walaupun bulan-bulan ini, suasana
perpolitikan sedang merajai, tidak semestinya iklan-iklan politik
digembor-gemborkan begitu saja.
Imbasnya
adalah masyarakat bingung dan jengkel, dengan banyaknya iklan politik itu.
Pemilu sekarang berbeda dengan pemilu sebelumnya. Pencalonan Caleg-caleg dalam pemilu,
melihat dari baground latar belakangnya, banyak yang masih tidak memperhatikan
kriteria khusus terutama dalam hal pengalaman politik, pengalaman leadership,
dan pengalaman mengentaskan permasalahan masyarakat. Masih banyak kita lihat
caleg-caleg yang latarbelakangnya adalah seorang pedangdut, seorang artis
selebriti, seorang penghibur, dan substansinya tidak sesuai dengan dunia
politik.
Contoh lainnya
dapat kita lihat saat berjalannya proses pemilu, dari mulai pengenalan terhadap
partai politik, kemudian kampanye, sampai menjelang puncak pemilu sekarang,
penghamburan uang terlihat jelas diperlihatkan partai-partai politik, padahal
akan lebih baik jika uang tersebut dipakai untuk kemaslahatan. Itupun mestinya
dipakai sejak awal, bukan waktu pemilu dan prosesnya.
Kalau yang
terjadi, terlihat, dan terpublikasi seperti ini (penghamburan uang) tentu
menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di balik itu semua. Kira-kira jelasnya untuk
apa uang tersebut? Mengapa sejak awal tidak dianggarkan untuk masyarakat sejak
awal? Kalaupun memang sebenarnya dianggarkan untuk rakyat, mengapa harus
diberikan kepada partai-partai politik? Yang banyak berpotensi melakukan
penggelapan-penggelapan sesuai dengan apa yang mereka munculkan sendiri kepada
publik. Bukankah para koruptor banyak berasal dari partai-partai politik?
Walaupun hanya sekedar oknum, seharusnya berpikirlah secara menyeluruh,
spesifik, dan rinci. Karena ada banyak oknum yang masih tidak diketahui
kejelasannya, dan mungkin saja melakukan penggelapan. Jika oknum-oknum itu
digabungkan misalnya, maka akan menjadi banyak bukan.
Pada intinya dan
akhirnya kemudian, Pemilu yang sekarang sedang menjadi buah bibir, justru
membuat pilu banyak kalangan, terutama kalangan rendah (bawah). Memang belum
terasa efeknya, karena para elit politik yang tergabung dalam partai-partai
politik sedang mengadakan pencitraan, pemulihan reputasi, dan perbaikan wajah.
Survey dan penelitian tidak perlu membuktikan lagi, referensi dan bukti tidak
perlu berbicara lagi, karena faktanya sejak Pemilu bergulir, realita pilu
selalu menjadi akhirnya. Di tengah pesta politik (Pemilu), masyarakat justru
nantinya akan dan semakin tercekik. Entah harus diakui atau tidak, mau tidak
mau harus diakui. Entah sampai kapan Pemilu akan membuat kepiluan seperti ini. Anggap
saja tulisan ini akan terus bersambung, jika Pemilu-pun terus menyambung
kepiluannya seperti ini sejak awalnya dan besar kemungkinan sampai usai Pemilu
nantinya. Wa allahu alamu bis shawwab...
0 komentar:
Posting Komentar