Perumpamaan Hijriah,
Miladiyah (Masehi)
Selaku umat islam. Tak ada kata lain, mengapa kita harus
mengikut sertakan diri dengan kebiasaan-kebiasaan tak seharusnya kita kerjakan? Untuk apa?. Tahun baru hijriah semestinya sudah cukup kita
rayakan, tanpa ada saingannya. Adapun selainnya adalah sebagai selingan, dan beranggapan bahwa menyadari, kita adalah umat
islam. Sebenarnya tidak harus
dirayakan! Baik miladiyah maupun hijriah. Karena biasanya
perayaan-perayaan tersebut, sering kita saksikan selalu berkenaan dengan ke-mudharat-an. Berhura-hura
dengan banyak hiburan saja tak boleh, apalagi dengan begitu banyaknya kebebasan
tak terbatas.
Tidakkah kita berpikir, kehidupan ini adalah penuh telaah.
Selalu ada kebuntuan yang kita temui setiap melangkah. Karena banyaknya
kebuntuan ini, maka kita wajib berhati-hati dalam melangkah. Bukan sekedar
kebuntuan yang akan kita temui, tetapi juga permasalahan lain. Menyingkapi
masalah perayaan tahun baru ini, sudah pasti menjadi kepentingan. Kita adalah orang awwam, melihat
fenomena baru, kemudian mengikutinya,
tanpa sadar ini merupakan perangkap sekaligus jebakan yang
dibawa orang-orang yang dari dulu tidak suka melihat islam di muka bumi ini.
Itu semuanya sudah terorganisir dalam pikiran mereka, dan
seperti kebanyakan kita temui sekarang, bagaimana program-program pendekatan
mereka kepada tokoh-tokoh kenamaan baik kalangan konglomerat, ulama, sampai para umara. Gerakan-gerakan
ini disinyalir akan merembet terus sampai akhirnya nanti. Dan membuat peta
perjalanan pengaruh luas mereka terhadap banyak instansi.
Ini sungguh sangat berbahaya, kebanding kita bersama
berperang mati-matian melawan
kedzaliman. Ini penyerangan, ekspansi, penjajahan lewat karakteristik.
Selama ini kita sering mendengar dalam pelbagai media cetak kenamaan, menerangkan tentang status kita
sebagai warga Negara RI. Kita dibilang masih dijajah, masih Negara bodoh,
Negara dengan
membesar-besarkan tiruannya (latah) atau kata lainnya bangga terhadap produk
luar negeri sampai bangga menjiplak produk luar negeri. Itu semua yang bisa
kita lakukan, tanpa berpikir apa yang
mereka rencanakan dibalik semua kedok material, finansial yang mereka
iming-imingkan. Penjajahan
karakteristik rasanya sudah melekat kesehariannya. Hari kita dipenuhi cekokan konsumsi ala western, bulan kita disuguhi asuransi
mudah dan murah, dan tahun kita dihiasi jaminan hidup berlipat. Itu semua tak
lepas dari doktrin westernisasi barat.
Sejauh ini
mungkin kita tidak sadar, bukan sekedar perayaan hari besar mereka yang begitu
gamblang dan mudahnya kita rayakan sebagai satu kesenangan berlebihan dan euforia
semata. Padahal kita tengah mengentaskan permasalahan bangsa ini sedikit demi
sedikit. Merayakan tahun baru masehi alias miladiyah
dengan berlebih-lebihan, sudah
jelas berada pada pengaruh westernisme, zionisme. Sudah tahu itu adalah tahun
baru kaum nasrani, tetap saja diikuti secara berlebihan. Okelah... boleh saja kita merayakannya, penulis juga tidak melarang
adanya perayaan tahun baru, agama pun tidak pernah mencantumkan, tahun baru
tidak boleh dirayakan, rasul juga tidak pernah menyinggungnya. Hanya saja coba
kita menilik terlebih dahulu, apa yang kita pegang selama ini, dari mulai kita
lahir sampai beranjak dewasa. Kita memegang agama islam, dan menganut agama
tersebut sebagai satu agama rahmatan lil
alamien. Kita menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangannya.
Merayakan
sesuatu bukan merupakan sebuah larangan, kita juga sebaiknya menghormati mereka
para penganut agama lain dari kita. Dengan turut berdoa menyambut tahun baru,
mudah-mudahan tahun baru sekarang menjadi tahun baru yang lebih baik dan
benar-benar diridhoi oleh Allah swt. Kita bisa juga ikut serta merayakannya,
asalkan jangan berlebih-lebihan. Tidak membuat kegaduhan dengan bermain petasan
di malam hari, tidak berlaku seperti hal-hal negatif yang dilarang oleh agama. Nah, hal-hal berbau negatif ini, membuat
nilai mudharat yang seringkali
terjadi di kalangan masyarakat, hingga
tak bermanfaat sama sekali bagi kita selaku umat islam. Jadi, buat apa
merayakannya kalau mengganggu ketenangan, sia-sia saja kita merayakannya,
karena tidak ada nilai manfaat yang bisa diambil.
Awal tahun sudah
menjadi sesuatu yang hangat untuk dibicarakan. Melihat bagaimana tahun-tahun telah
kita lewati, dan tak juga memenuhi kriteria sikap dan sifat yang pernah kita
lakukan dan miliki kepada kebaikan, kemuliaan. Maka perlu ada pembenahan,
penataan kembali dalam awal tahun ini. Adapun pembenahannya bisa berupa membuat
catatan-catatan hal apa semestinya dilakukan sekarang, mempersiapkan pikiran
kita ke depan atau hari esok, dan mempersiapkan evaluasi hari kemarin atau
telah dilalui. Ketiganya ini sudah cukup buat mengusung cita-cita kita pada
kejelasan, yaitu peluang (potensi), hobi (kebiasaan), kecocokan, dan bakat.
Semua ini mesti kita ketahui secepatnya, kalau anda ingin mengetahui sukses
atau tidaknya ke depan. Jadi, lembaran awal sebuah cerita itu sangat penting,
seperti pada tahun baru ini.
Lalu mengapa
lembaran awal ini dihiasi dengan hal-hal mudharat, sia-sia, tidak ada
manfaatnya? Bukankah itu merupakan hal negatif dalam persepsi kita sebagai
makhluk berakal, bisa menyerap, membedakan mana benar dan salah? Kemudian
bagaimana dengan perjalanan kita melewati hari-hari dalam tahun ini, kalau
seandainya hari pertama ini, sudah kita coreng dengan hal-hal negatif? Marilah... kita banyak berpikir,
merenung berucap istighfar, menelaah kembali apa yang telah diperbuat oleh kita
selama ini.
Manakah yang
anda pilih? Antara hijriah dan miladiyah. Janganlah dianggap serius
pertanyaan ini. Yang perlu serius disingkapi, bagaimana anda mengumpamakan hijriah dan miladiyah ini dengan kelakuan kita. Sudah berapa banyakkah kebaikan
diperbuat? Keburukan kita, bisakah kita hilangkan? Menginjak tahun baru ini. Wa allahu alamu bis showab...
1 komentar:
kpada pengunjung... selamat datang... sekalian
Posting Komentar