2 K@mpusi@na


Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Kalian Ya...!!!
Selamatkan Indonesia dengan Semangat Kebersamaan Non-Kapital

Mengenai berbagai macam kebijakan di dalam pemerintahan, sudah barang tentu sewajibnya menghasilkan satu efek positif tentang bagaimana selanjutnya dapat memulai babak baru yang bersifat realitatif, idealitatif, dan bahkan inspiratif. Indonesia sebagai penyandang demokrasi, yang dalam arti sebenarnya menginginkan adanya proses kebersamaan, bekerja kebersamaan, dan hasil kebersamaan, yakni dengan kata kunci “rakyat” sebagai simbol dari kebersamaan tersebut, justru tidak mencerminkan kebersamaan sebagaimana mestinya sesuai dengan demokrasi.
Para pemimpin Indonesia, dari tahun ke tahun tidaklah menjawab dengan serius, real, ideal, dan bijak, begitu dihadapkan kepada tanda-tanda Tanya besar  tentang arti sebuah kebersamaan secara langsung. Padahal secara langsung, orang yang tidak berpendidikan tinggipun mengetahui arti kebersamaan, jika berangkat dari praktek, aplikasi sehari-hari. Karena mereka lebih merasakan persahabatan, pertemanan, komunikasi sosial tanpa batasan usia, status, materi, vinansial, fisik, dan rohani, kebanding pemimpinnya yang berpendidikan tinggi, dan serba memilih-milih teman, sahabat, dengan batasan tertentu.

Menurut Prof. Dr. Abdulrahman Abdulkadir Kurdi, manusia adalah sama, manusia mempunyai hak untuk diperlakukan secara sama, dan manusia diciptakan sederajat (Kurdi, 2000: 81). Ketika hak manusia tidak diperlakukan sama oleh sesamanya (manusia), maka akan ada kekecewaan dan kekesalan, yang dapat berbuah tindakan-tindakan di luar batas, bahkan di luar norma dan nilai. Hak dari rakyat adalah mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah jika terbukti tidak bersalah. Akan tetapi kasus-kasus penyiksaan TKI kita tak dapat dihentikan hingga sekarang. Masih sering kita dengar kasus-kasus penyiksaan TKI sampai meninggalnya (akhir hayatnya), dan pemerintah diam saja walaupun miris melihatnya. Kabar itu bukan malah membuat pemerintah gencar memperhatikan rakyat-rakyat kecil yang mempunyai perekonomian minim, akan tetapi menambah tingkat kemakmuran dirinya dengan banyak membiarkan TKI semakin berkeliaran di luar negeri. Karena progress tersebut tentunya akan menguntungkan oknum pengirim TKI, dan keuntungan yang dihasilkan akan menjadi pajak Negara. Kemungkinan besar pajak tersebut akan dimakan sendiri tanpa memperdulikan pembangunan-pembangunan Negara. Lihat saja, mana ada jalan di Indonesia yang mulus? Hanya sedikit. Mana ada gedung-gedung sekolah tidak bocor? Hanya sedikit. Mana ada gedung-gedung penyewaan yang dapat disewakan dengan murah? Sedikit. Mana ada toilet yang gratis? Sedikit. Semua serba diuangkan, hanya tinggal bernafas yang tidak diuangkan. Padahal kita hidup di tengah Negara yang memiliki pemerintahan, manajemen, administrasi yang mengurusi sirkulasi kebijakan di dalamnya.
Peran pemerintahan orde lama, orde baru, sampai kemudian reformasi, tidak sedikit kebijakan yang kemudian membuat kekecewaan rakyat. Padahal pemerintah mestinya berlaku adil, bukan malah mengadili rakyat yang tidak bersalah. Tuhan yang Maha Adil, Allah SWT sendiri yang langsung memerintahkan manusia untuk adil, memerintahkan umat manusia supaya bertindak adil terhadap setiap individu sebagai perorangan  yang terlibat dengan sesama dalam praktek bersama yang dipersiapkan untuk memajukan kepentingan umum (Kurdi, 2000: 91).
Dalam pemerintahan orde lama, kita masih ingat tentang banyak bertebaran intrik-intrik PKI yang berusaha melanggengkan kekuasaannya dengan menyebarkan paham komunis secara perlahan. Di lain sisi, soekarno sebagai presiden pada waktu justru melegitimasi paham tersebut untuk kemudian disandingkan dengan paham nasional dan agamis, menjadi Nasakom (Nasionalis, Agamis, dan Komunis) dengan alasan kemajemukan paham di Indonesia.
Bukan malah keadilan terrealisasikan, perebutan kekuasaan diperlihatkan elit politik pada saat itu, bahkan juga oleh elit militer. Parahnya lagi, di akhir pemerintahan orde lama, dihiasi dengan kenaikan bahan pokok, sehingga rakyat sengsara dan menderita. Pada akhirnya suatu pemerintahan yang diakhiri dengan husnul khotimah (akhir yang baik), justru diakhiri dengan su’ul khotimah (akhir yang buruk), dikarenakan perebutan kekuasaan pada saat itu. Semua itu tergambarkan di dalam film “Soe Hok Gie”.
Berpindah ke orde baru, Soeharto dan orde baru memperoleh kekuasaan pada tahun 1965 melalui sebuah coup d’etat. Soeharto memerintah Indonesia sebagai seorang pemimpin yang benevolent dan juga otoriter yang meyakini bahwa stabilitas politik dan pembangunan ekonomi dapat mempertahankan kekuasaannya (Asy’ari, 2003: 10) . Pada akhirnya keyakinan itu kemudian tidaklah dijadikan sebagai tonggak keadilan, akan tetapi  menjadi tonggak durjana, yaitu keserakahan, sehingga menambah daftar masalah-masalah baru.
Pada akhir pemerintahan orde baru selama 32 tahun, nilai rupiah anjlok sampai kurang lebih 15.000 rupiah, hutang Negara juga mencapai 60 milyar (Wintolo bersama Karseno dkk (Ed.), 2003: 18) bermunculan konflik etnis di Kalimantan Barat (1996-1997, dilanjutkan sampai 1999), Kalimantan Tengah (2001), Timor Timur (1999), Ambon (1999), Maluku Utara (2000), Poso (2001) (Asya’ri, 2003: 15).
Akhirnya naiklah BJ. Habibie sebagai pemegang kendali negara selanjutnya, dan berakhirlah orde lama, kemudian beralih ke era reformasi. Dari mulai pemerintahannya perekonomian negeri perlahan kembali stabil, nilai rupiah kembali ke zona ekonomi normal, bahkan mencapai posisi +6000 rupiah per dollar, dibanding pada masa pemerintahan Soeharto yang menurun tajam pada posisi +15.000 rupiah per dollar. Patut kita berikan jempol empat, karena ini merupakan prestasi perekonomian tertinggi diantara masa pemerintahan lainnya. Namun sebaik-baik pemimpin ada saja kekurangannya, BJ. Habibie tidak dapat menyelesaikan permasalahan etnis (turunan dari Soeharto) dengan baik, puncaknya ia kemudian diturunkan dari bangku presiden lantaran membiarkan provinsi Timor timur lepas dari wilayah kesatuan RI. Ya, alasan yang kontroversial dan sangat disayangkan bagi sebagian pihak pada waktu itu. Padahal ia telah banyak membuat kemajuan negeri ini, walaupun dengan waktu yang relatif sebentar. Tetapi dialah pemimpin terbaik, dibanding yang lain menurut hemat penulis.  
Berlanjut kemudian, naiklah Gus Dur sebagai pemangku kepresidenan RI. Dalam masa pemerintahannya, ia banyak mengunjungi negeri asing dengan alasan menjaga integritas wilayah RI. Ya, alasan yang bagi penulis masih mempunyai arti lain. Ia dikenal sebagai guru bangsa yang menjunjung tinggi nilai pluralisme demokrasi. Ia biasa berdiskusi dengan ragam orang, seperti warna-warni dalam pelangi. Tetapi demikian, ia merupakan presiden dengan pemikiran yang tidak dapat dipahami dengan jelas dan terkesan kontroversial.
Dalam hal ini, kita tahu bahwa dialah yang menginginkan pembubaran Departemen Sosial dan Penerangan, lantaran dianggap kinerjanya tidak sesuai dengan UUD yang berlaku. Mereka yang seharusnya mengayomi rakyat dalam ketentraman, malah korupsi gede-gedean, anggap Gus Dur waktu itu. Dia juga yang menginginkan adanya pencabutan Tap MPR No. 25 MPRS 1966, dengan alasan melindungi semuanya dan ketentuan Tap MPR tersebut bertentangan dengan undang-undang.
Hal ini yang menyebabkan pendapat sebagian orang yang menganggap bahwa Gus Dur terkesan memberikan pembelaan kepada PKI, yang ditakuti kebangkitannya kembali. Akhirnya era Gus Dur lengser secara paksa, dengan pengangkatan Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden RI selanjutnya, yang dinobatkan langsung setelah digelarnya sidang istimewa MPR RI tanpa kehadiran Gus Dur sebagai presiden (waktu itu Megawati masih menjabat sebagai Wakil presiden RI, dan menggantikan Gus Dur).
Megawati merupakan seorang presiden perempuan pertama RI. Perempuan bukan tidak layak memimpin. Dalam islam, perempuan boleh dan berhak memimpin hanya di kaumnya saja alias di kalangan perempuan saja, tak lebih. Apa jadinya jika seorang perempuan memimpin sebuah negeri, maka akan terjadi sebuah dilematisasi. Karena perempuan punya satu kecenderungan untuk selalu bersama dengan anaknya, maka otomatis perempuan punya andil dalam membesarkan anaknya, termasuk memperhatikannya setiap hari, memberikan kasih sayang yang berarti, mengutamakan kepentingan rumah tangga, bukan mementingkan kepentingan karier semata. Perempuan juga punya kelemahan dalam memandang orang lain. Banyak perempuan yang tidak tegas menangani masalah sebuah organisasi umum yang di dalamnya tidak hanya perempuan saja, tetapi juga lelaki.
Jangankan masalah organisasi, dalam hal percintaan saja perempuan banyak yang ragu dalam mengambil langkah, sehingga banyak diantara mereka yang tergoda begitu saja lantaran diiming-imingi kebahagian dan kesenangan hidup yang sementara oleh para lelaki (tidak semuanya). Dari pantauan ini, lalu kita kaitkan dalam organisasi umum! Apa yang terjadi seandainya seorang perempuan memegang organisasi umum atau organisasi masyarakat? Bukan malah menghasilkan sebuah kepemimpinan karismatik, melainkan suatu kepemimpinan boneka. Perempuan banyak yang diperalat oleh lelaki dalam mengambil keuntungan sendiri. Penulis tidak bermaksud untuk mengejek perempuan dalam hal ini. Hanya saja perlu ada peringatan bahwa perempuan adalah mahkota bagi lelaki, jadi jangan mau diperalat oleh lelaki. Kelemah-lembutan perempuan terkadang dimanfaatkan oleh banyak lelaki untuk sebatas pemuas nafsu belaka. Dan ini merupakan bentuk pelecehan bagi perempuan.
Jadi, untuk menghindari hal semacam ini, lebih baik perempuan berlindung saja kepada lelaki yang baik, punya andil dalam keluarga, pengertian, dan penyayang. Perempuan lebih baik tidak usah ikut campur dalam hal kepemimpinan umum, apapun kepemimpinan umum itu. Dari itu kita kembali ke pokok permasalahan kita tentang penantian seorang pemimpin. Bagaimana kepemimpinan seorang Megawati? Begitulah adanya, tanpa perlu diruntut kembali. Ada presiden di balik presiden, istilahnya seperti itu. Dengan kata lain, ada sebuah pemerintahan di balik layar. Ini yang membuat ketidak-tegasan Megawati dalam memerintah. Seperti dalam kasus pulau Sipadan dan Ligitan. Pengakuan Malaysia terhadap kedua pulau tersebut, tidak membuahkan respon yang berarti. Malaysia akhirnya merebut kedua pulau tersebut.
Setelah era Megawati, berlanjutlah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono atau lebih familiar dipanggil dengan SBY. SBY merupakan salah satu sosok pemimpin terbaik menurut penulis selain BJ. Habibie, dari era kepemimpinan lainnya. Dalam pemerintahannya-lah, KPK dibentuk, sehingga mengurangi jumlah korupsi di Indonesia, yang juga menguak sindikat-sindikat korupsi di Indonesia, walaupun sekarang makin berkurang personilnya. Selain itu juga, pada masa pemerintahannya terdapat Densus 88 yang bertugas menangani terorisme yang sekarang mulai berkurang pula keberadaannya, walaupun harus mengeluh dada, karena banyak sekali korban penyiksaan tak berdosa lantaran dituduh teroris. 
Sebagai pemimpin yang punya pendidikan kemiliteran, ia otomatis punya militansi yang tinggi dalam menangani masalah internal dan eksternal negeri ini, apalagi masalah pertahanan dan keamanan, sebagaimana penanganan gerakan saparatis, teroris, dan anarkis lainnya di dalam negeri. Adapun di luar negeri, SBY mengirimkan delegasi pasukan Garuda sebagai pasukan perdamaian PBB, demi menjaga ketentraman dunia, termasuk penanganan bantuan ke bumi Palestina. Meskipun demikian ada kekurangan yang mesti dicatat, SBY kurang memperhatikan permasalahan TKI yang makin hari makin tak terurus, dengan begitu banyaknya penggelapan, ilegaloging, mafia-mafia pajak. 
SBY juga kurang memperhatikan integritas wilayah RI, sehingga beberapa kali zona-zona perbatasan wilayah kesatuan RI dilewati (tanpa izin) begitu saja tanpa ada penanganan yang berani dan hampir saja sebagian wilayah perairan RI direbut oleh pihak tetangga, seperti yang terjadi pada kasus perairan Ambalat. Padahal itu merupakan pelanggaran wilayah yang sudah menjadi ketentuaan, dan peraturan RI dengan negara tetangga. Dalam hal ini SBY kurang tegas menangani masalah tersebut. Namun demikian ini sudah menjadi mafhum bersama, karena SBY adalah pewaris masalah dari era kepemimpinan sebelumnya, yang juga bertubi-tubi masalah.
Sekarang era kepemimpinan sudah berubah, dari SBY, tongkat estafeta kepemimpinan kini berpindah ke era Jokowi. Awal pemerintahan Jokowi langsung dihiasi dengan kontroversi kebijakan, seperti kenaikan bensin, penarikan subsidi transportasi khususnya kereta api, dan lain sebagainya. Entah bagaimana kelanjutannya, mari kita lihat sepak terjang politik beliau.
Tahukah kalian? Bahwa kebanyakan pemimpin-pemimpin kita sudah termakan virus kapitalisme sejak awal. Keserakahan, kekuasaan absolut, harta bertambah dan melimpah, dan lain sebagainya. Apakah itu bagian dari karakter, prinsip, dan mindset seorang pemimpin? Tidak. Kepemimpinan selalu membutuhkan, seorang yang adil yang dapat berlaku sama rata dan sama rasa. Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90)
Intisari dari ayat tersebut adalah bahwa keadilan itu adalah fase keimanan yang terpadu. Yaitu, fase dimana keadilan adalah pemersatu yang baik, haq, benar, dalam satu tempat untuk dijadikan sisi aplikatif, sisi idealis dan mempersatukan yang buruk, bathil, salah, dalam satu tempat yang diharapkan dapat menjadi perbaikan. Manusia sebagai pelaku keadilan di dunia mesti membedakan antara haq dan bathil, antara benar dan salah, baik dan buruk, semua dualisme atau keterpaduan tersebut dihadapkan satu tembok yaitu keadilan. Keadilan-lah juga yang akan memberikan kenyamanan, kebahagiaan, kesenangan, ketentraman dan kesejahteraan bagi setiap manusia tanpa kompromi. Kesemua akibat itulah yang diinginkan banyak manusia dalam kebersamaan, oleh sebab keadilan dari manusia itu sendiri. Namun manusia justru melakukan hal sebaliknya, sehingga juga mengakibatkan sebaliknya. Sehingga tidaklah terwujud kebersamaan yang diinginkan, melainkan kebersamaan semu.   
Melihat bagaimana elit politik yang melakukan rasa kebersamaan yang semu di saat-saat tertentu, Seperti saat pemilu misalnya. Saat pemilu bergulir, banyak kalangan calon elit politik menarik massa untuk memperbanyak total pemilih tetap dengan membagi-bagikan materi, dan memberikan hadiah yang muluk-muluk kepada orang-orang tertentu guna memuluskan langkah pencalonannya. Tidak sedikit diantara para calon elit politik itu yang gemar menyuplai uangnya ke semua lini, semisal penegak hukum, penegak keadilan, dan sampai rakyat biasa untuk mengkonsep kemenangan saat pemilu. Bukankah itu jalan kotor?
Memang para pemimpin Indonesia ini tidaklah sempurna. Mereka bukanlah malaikat yang senantiasa memberikan hal terbaik. Akan tetapi ketika suatu Negara yang diperintah (dipimpin) oleh manusia yang berbeda dalam kurun waktu yang bertahun-tahun lamanya, mengalami perubahan dan dinamisasi ke arah positif, berupa kemajuan teknologi, komunikasi, dan media, perkembangan ilmu pengetahuan, dan terdapatnya berbagai macam peralatan modern yang serba canggih dengan berbagai macam kelebihan masing-masing, yang seharusnya memberikan dampak hubungan simbiosis mutualisme (dimana satu sama lain saling menguntungkan), komunikasi lebih baik, akan tetapi kemudian sejak lama tidak banyak diselingkan dengan keadaan hidup manusia sosial dengan hubungan harmonis, serasi, dan saling dapat berbagi kebaikan, kemanfaatan, daya guna, hikmah terutama dari pihak atas ke bawah.
Patut disayangkan, hanya sedikit dari banyak sumbangsih dalam berbagi masalah kebaikan, sampai sekarang justru pemerintah dari pihak atas membagikan penderitaan kepada rakyat, menyengsarakan rakyat, dan menelantarkan rakyat tanpa memandang kalau rakyat itu adalah manusia sosial yang punya ketergantungan terhadap manusia yang lain, termasuk ketergantungan terhadap pemerintah negerinya. Padahal hakikatnya kita semua manusia sosial yang sama tanpa berlebih-lebihan.
Di tengah terus berkembangnya negeri, rakyat justru dipertontonkan dengan berbagai macam masalah-masalah sosial politik yang berkaitan dengan pasca pemilu 2014 dimana era Jokowi memerintah. Seperti intrik-intrik pembangunan benih-benih kekuasaan dari elemen partai, pergulatan internal beberapa partai politik dalam perebutan kekuasaan, serta kasus-kasus tindak korupsi elit politik bahkan terakhir kali dari penegak keadilan yang menambah daftar sampah-sampah baru, memupuk mindset-mindset terpuruk sepanjang sejarah. Di lain sisi, dalam sosial ekonomi, pemerintah justru mengambil inisiatif teledor, dengan memberikan sinyal keterbukaan seluas-luasnya lapangan ekonomi global. Pasar ekonomi diprakirakan akan banyak menjamur di Indonesia. Produk-produk luar negeri akan menumpuk ruas-ruas jalan, sampai mungkin tak ditemukan lagi produk dalam negeri sendiri, dan mengerikannya, negeri ini akan kembali menjadi penonton saat hartanya dikeruk habis, menjadi romusha dan rodi zaman modern yang dahulu pernah diembankan sebagaimana masa kolonialisme.
Dua contoh itu adalah dua contoh tontonan mengerikan bagi kita semua. Menjadi penonton sendiri di negeri sendiri dengan berbagai macam tumpukan masalah-masalah urgen dan jelas di depan mata, memungkinkan negeri ini kembali mengalami error of control, setelah melihat tanda-tanda kidung kematian sistem tatanan sosial, yang sudah lama tidak berjalan dengan baik, sesuai, dan benar. 
Pertama, kita sudah dipertontonkan masalah demi masalah politik yang tak pernah selesai, Kedua, kita dipertontonkan oleh barang-barang luar negeri (asing) tanpa memperdulikan barang-barang milik sendiri, tanpa merasa menyesal menelantarkan barang-barang sendiri, parahnya tidak bangga dengan barang milik sendiri. Bukankah keduanya adalah tanda kematian sistem tatanan sosial? Karena kita hanya menjadi penonton tanpa berbuat banyak dan terbaik untuk menyelesaikan masalah. Lantas apa yang perlu kita perbaiki sekarang sekecil apapun dan langkah kecil apa selanjutnya dalam membangun negeri ini, membangun subtansi dari mindset kebersamaan?
Pertama,  real mindset of human building, jika merujuk pada kebiasaan lama kita semua yang senantiasa gandrung dengan menyemukan kebersamaan. Maka, yang perlu menjadi langkah kecil kita untuk memperbaiki negeri, adalah memperbaiki tujuan kebersamaan yang sudah sejak lama dihiasi oleh modus-modus semata, keinginan untuk mendapatkan balasan simpati berlebih tanpa memperhatikan kepentingan bersama di kemudian hari. Sungguh, ironis jika kesemuan ini senantiasa dipertahankan sampai sekarang.
Sebenarnya pemimpin-pemimpin kita tanpa sadar terlalu terpaku pada kapitalisasi. Sehingga selalu haus akan kekuasaan. Kebebasan individu adalah masalah politik dan kesejahteraan material adalah masalah ekonomi ( Penyunting: Miriam Budiardjo bersama Friedman, 1984: 36). Kapitalisme selalu identik dengan kebebasan individu dan material, yang ujung-ujung mesti berkuasa dan kaya. Soekarno, Soeharto, dan banyak pemimpin lainnya adalah icon-icon pemimpin yang terpaku pada sistem kapital secara tidak langsung. Maka, langkah Keduareal ideality of human sociality, yaitu membuat langkah sosial yang non-kapital, yang tidak mengedepan kepentingan individu, akan tetapi berusaha menyangkut pautkan diri orang banyak dengan keuntungan yang dimiliki. Selalu memperhatikan kepentingan orang banyak, tanpa berusaha melawan ego.      
Yang Ketiga, yaitu real renovation of human totality, menyandang satu garis bawah tentang renovasi-renovasi (totalitas perbaikan). Karena tiada mungkin dalam suatu pemerintahan sebelumnya tidak akan meninggalkan setitik kesalahan satu-pun, menyangkut kebijakannya. Dan sayangnya hal ini tidaklah dijadikan sebagai bahan perubahan ke arah kebaikan. Pemerintah adalah manusia, pemimpin adalah manusia, jangan sampai mewariskan hal yang parah ke generasi selanjutnya. Selesaikan masa kepemimpinan dengan usaha yang terbaik, kalaupun masih terdapat masalah di akhir kepemimpinan, maka kurangi skala dan dampak buruk untuk generasi kepemimpinan selanjutnya, sehingga terlihat tanggung jawab seorang pemimpin yang sebenarnya, sehingga kepemimpinan selanjutnya tidak keteteran, kerepotan memperbaiki kesalahan, masalah pemimpin sebelumnya, sedang masalah baru mulai bermunculan saat itu.

Referensi:
Karseno, Arief Ramelan, MA., Ph.D (Ed.). Dari Jogja Untuk Indonesia. 2003. PT. Hanindita Graha Widya, Yogyakarta
Kurdi, Prof. Dr. Abdulrahman Abdulkadir. Tatanan Sosial Islam. 2000. Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), Yogyakarta
______________. Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi (Penyunting: Miriam Budiardjo). 1984. Penerbit PT. Gramedia, Jakarta

______________. Konflik Komunal Di Indonesia Saat Ini. 2003. Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) Leiden bekerja sama dengan Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta     

2 komentar:

sangpemimpiulung mengatakan...

ini khusus seputar pondok pesantren,,,

sangpemimpiulung mengatakan...

selamat membaca yah...

Posting Komentar